Rabu, 24 November 2010

Bolehkah mencintai diri sendiri...???


“Tidaklah beiman seseorang di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri” ~ Rasulullah saww, Hadits Riwayat al-Tirmidzi

ADA keyakinan luas bahwa mencintai orang lain adalah baik, sementara mencintai diri sendiri adalah buruk. [1]

Juga ada anggapan bahwa cinta pada diri sendiri sama dengan mementingkan diri sendiri. [2]

Tentu saja pandangan seperti ini bertolak belakang dengan hadits tersebut di atas. Lalu bagaimana sebenarnya permasalahan ini bisa dipahami?

DUA JENIS CINTA DIRI

Sebenarnya tidak ada pertentangan sama sekali antara pandangan yang pertama dengan pandangan yang kedua. Karena sesungguhnya ada dua jenis Cinta Diri. Yang Pertama, adalah Cinta Diri Positif sedangkan Yang Kedua Cinta Diri Negatif.

Pada teks hadits di atas cinta kepada diri seperti itu merupakan cinta diri yang positif, bahkan bersifat fithrah, tetapi pada jenis yang kedua, cinta diri sudah mengarah kepada bentuk mementingkan diri sendiri.

CINTA DIRI POSITIF

Seorang laki-laki menulis surat kepada Abu Dzarr al-Ghifari ra. Di dalam suratnya, ia meminta nasihat kepada Abu Dzarr. Di antara nasihat Abu Dzarr tersebut ditulis, beliau menasihati dengan nasihat yang sangat sederhana tetapi mengandung makna yang dalam, “….Janganlah engkau berbuat jahat terhadap orang yang engkau cintai!”.

Begitu si lelaki membaca surat dari Abu Dzarr tersebut ia pun menjadi bingung, karena tidak memahami makna dari nasihat Abu Dzarr, sehingga ia pun kembali bertanya di dalam surat keduanya, “Apakah Anda pernah melihat seseorang yang berbuat jahat terhadap orang yang dicintainya?”

Abu Dzarr pun menjawab dalam suratnya, “Kecintaanmu kepada dirimu sendiri jelas melebihi kecintaanmu kepada orang lain. Namun demikian jika engkau tidak mentaati Allah, engkau pasti akan disiksa, dan ini berarti engkau telah berbuat jahat terhadap dirimu sendiri”. [3]

Suatu kesalahan logis apabila dikatakan bahwa cinta pada orang lain dan cinta pada diri sendiri tidak dapat saling berdampingan. Jika mencintai sesama manusia merupakan suatu kebajikan, maka mencintai diri sendiri pun tentu merupakan kebajikan, karena sebagaimana orang lain, kita sendiri pun adalah manusia. Tidak ada konsep tentang manusia di mana kita tidak termasuk di dalamnya. [4]

Sebuah hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah saww bersabda, “Cintailah manusia sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri” [5] menunjukkan bahwa penghormatan atas integritas dan keunikan diri serta cinta dan pengertian terhadap diri sendiri tidak dapat dipisahkan dari penghormatan dan cinta terhadap manusia lainnya. Cinta pada diri sendiri memiliki kaitan yang tak terpisahkan dengan cinta pada semua makhluk lainnya.

Kita juga diperintahkan Allah SwT untuk menyayangi diri kita beserta keluarga kita dengan menjaga dan memeliharanya dari kecelakaan dan bencana terperosok ke dalam siksa api neraka, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu!” (QS al-Tahrim [66] ayat 6)

Tentu saja pola cinta diri seperti ini bukan saja positif dan dibenarkan, bahkan diperintahkan oleh Tuhan.

Ini berarti cinta diri dan cinta kepada orang lain bukan merupakan alternatif.

Sebaliknya, senantiasa harus akan ada sikap cinta terhadap diri sendiri pada orang-orang yang mampu mencintai orang lain. Pada prinsipnya, cinta tidak akan terbagi sejauh hubungan antara obyek dan diri sendiri diperhatikan.

Pergumulan dengan cinta diri adalah pergumulan dengan keterbatasan diri. Diri ini harus dimekarkan, atau dengan kata lain kepribadian diri kita mesti direntangkan hingga mampu menggapai seluruh manusia bila bukan seluruh alam ciptaan. [6]

Pada hakikatnya, semua maujud yang ada di alam ini termasuk diri kita sendiri merupakan pengejewantahan (manifestasi) dari al-Haqq, sehingga cinta kita kepada diri kita, manusia lainnya, makhluk-makhluk lainnya dan alam semesta, sejatinya merupakan cinta kita kepada al-Haqq, Allah Rabb al-‘Alamin.

CINTA DIRI NEGATIF

Sebaliknya, seseorang yang mencintai dirinya sendiri, bahkan kepada orang lain sekali pun, tetapi menganggap bahwa dirinya, atau orang lain tidak memiliki keterhubungan dengan al-Haqq, adalah tidak saja merupakan bentuk cinta diri negatif, bahkan pola pemikiran seperti ini merupakan jenis syirik yang teramat besar atau pandangan dualisme yang dapat menimbulkan sekian banyak dilema-dilema di dalam realitas kehidupan manusia.

Bentuk cinta diri seperti inilah yang dikatakan sebagai mementingkan diri sendiri. Cinta seperti ini bukanlah cinta yang sesungguhnya, karena cinta yang sejati melepaskan manusia dari egoisme.

KISAH SIRRI AL SAQATHI

Konon Sirri al-Saqathi, salah seorang ‘urafa, pernah berkata, “Sudah tiga puluh tahun aku beristighfar kepada Allah hanya karena ucapan al-hamdulillah yang keluar dari mulutku”

Tentu saja orang orang menjadi bingung dan bertanya kepadanya, “Bagaimana itu bisa terjadi?” Saqathi berkata, “Saat itu memiliki toko di Baghdad. Suatu saat aku mendengar berita bahwa pasar Baghdad hangus dilalap api, padahal toko saya berada di pasar tersebut. Aku bersegera pergi ke sana apakah tokoku juga terbakar atau tidak? Seseorang memberitahu kepadaku, “Api tidak sampai menjalar ketokomu” Aku pun mengucapkan, “Alhamdulillah!” Setelah itu terpikir olehku, “Apakah hanya engkau saja yang berada di dunia ini?

Walaupun tokomu tidak terbakar, bukankah toko-toko lainnya terbakar. Ucapan alhamdulilah berarti bahwa engkau bersyuku api tidak membakar tokomu. Jadi engkau rela toko orang lain terbakar asalkan tokomu tidak terbakar!

Aku berkata pada diriku lagi, “Tidak adakah barang sedikit rasa sedih atas musibah yang menimpa kaum muslimin di hatimu, wahai Sirri?” (Di sini ia mensinyalir hadits Nabi, “Barangsiapa melewatkan waktu paginya tanpa memerhatikan urusan kaum muslimin, maka tidaklah ia termasuk dari mereka (kaum muslimin)”). Sudah tiga puluh tahun saya beristighfar atas ucapan alhamdulillah itu. [7]

Kisah tentang Sirri al-Saqathi ini merupakan contoh bentuk cinta diri negatif yang bisa dikatakan sebagai sifat mementingkan diri sendiri. Cinta diri seperti ini menutup pintu bagi segala bentuk perhatian yang sungguh-sungguh pada orang lain.

Orang yang mementingkan diri sendiri hanya tertarik pada diri sendiri, dia menghendaki segala-galanya bagi dirinya sendiri, tidak merasakan kegembiraan dalam hal memberi dan hanya senang jika menerima. Dunia luar hanya dipandang dari segi apa yang dapat dia peroleh.

Dia tidak berminat untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan orang lain dan tidak menghargai kodrat serta integritas mereka. Orang macam ini tidak bisa melihat apa-apa selain dirinya sendiri. Dia menilai setiap orang atau lainnya hanya semata dari sisi manfaat buat dirinya. Pada dasarnya orang macam ini tidak punya kemampuan untuk mencintai.

Cinta diri dalam bentuk ini bukanlah sesuatu yang sesungguhnya maujud. Cinta semacam ini sesungguhnya hanyalah suatu bentuk kegandrungan seseorang pada dirinya sendiri. Karena itu cinta diri seperti ini harus disingkirkan.

Sebaliknya cinta diri yang merupakan fitrah yang ada diri manusia seperti keinginan untuk memuliakan diri, mensucikan diri dan hal-hal semacam itu tentu saja tidak boleh diabaikan atau pun dibuang. Perbaikan dan penyempurnaan diri (nafs) manusia justru merupakan kemestian dan keharusan bagi manusia untuk mewujudkannya. [8]

Cinta sejati justru meruntuhkan kendala defensif dan menggantikannya dengan cinta kepada selain diri sendiri. Sebelum manusia mampu keluar dari dirinya sendiri, ia adalah lemah, kikir, kaku, tamak, anti manusia, pemberang, serakah dan sombong.

Jiwanya tidak memancarkan kecemerlangan, tidak bersemangat atau bergairah, selalu dingin dan terpencil. Namun begitu ia keluar dari ‘diri’ dan meruntuhkan kendala-kendala defensif ini, sifat dan tabiat-tabiat buruk yang ada dalam ‘diri’ itu pun runtuh! [9]

Orang yang mementingkan diri sendiri tidak terlalu banyak mencintai dirinya sendiri, justru dia sangat kurang mencintai dirinya-bahkan sesungguhnya ia membenci dirinya.

Kurangnya kesukaan dan perhatiaan terhadap dirinya yang merupakan ungkapan dari kurangnya produktifitas menyebabkan orang tersebut diluputi rasa hampa dan derita kegagalan. Karena itulah ia menjadi tidak bahagia dan selalu diliputi rasa takut. [10]

Orang yang mementingkan diri sendiri itu narsistis, mereka mengalihkan cintanya untuk orang lain kepada dirinya sendiri. Memang benar bahwa orang-orang yang mementingkan diri sendiri tidak memiliki kemampuan untuk mencintai orang lain, tetapi lebih dari itu, mereka juga tidak memiliki kemampuan untuk mencintai dirinya sendiri.

Orang yang mencintai keluarganya tetapi sama sekali tidak berperasaan terhadap orang lain adalah pertanda dari ketidak mampuan untuk mencintai.

Begitu juga kecintaan kepada suku atau bangsa (chauvanisme) berlebihan yang menciptakan ego kesukuan atau kebangsaan.

Sifat psikis batin ini terlihat ketika seseorang melindungi dan membela keluarganya serta orang-orang yang memiliki pertalian atau hubungan tertentu dengannya, baik itu keyakinan agama, ideologi, tanah atau tempat tinggal, padahal orang yang dibela melakukan kesalahan. [11]

Tingkat kecintaan yang berlebihan (‘ashabiyyah) seperti ini dapat mengakibatkan tercerabutnya iman dari dalam hatinya.

Rasulullah saww bersabda, “Siapa yang melakukan ‘ashabiyyah dan siapa yang karena kepentingannya, seseorang melakukan ‘ashabiyyah, maka terlepaslah ikatan iman dari lehernya” [12]

CINTA DIRI YANG PALING BERBAHAYA

Pada kondisi kejiwaan tertentu cinta diri, bahkan menurut Imam Khomeini qs, merupakan akar seluruh dosa. [13]

Cinta diri seperti ini dapat dikatakan sebagai egoisme. Pada tahap kejiwaan seperti ini seseorang merasa dirinya telah mencapai suatu tahap kesempurnaan.

Kita menganggap diri kita telah sedemikian sempurna sementara di mata kita orang lain penuh cacat dan cela. Kita sibuk melihat cela dan aib-aib orang lain tetapi lalai menengok dan bercermin melihat keburukkan yang kita miliki.

Oleh karena itulah cinta diri seperti ini merupakan bentuk kelalaian. Karena jika kita secara jujur melihat kejelekkan kita sendiri niscaya kita akan bersegera memperbaiki kerusakkan jiwa dan diri kita sendiri. Jika kita menyadari hal ini dan bersegera membenahi jiwa dan diri kita sejak dini, maka hal itu merupakan bentuk cinta diri tetapi tentunya dalam bentuk yang positif.

BERHALA TERBESAR DARI SEGALA BERHALA

Sebaliknya, jika perhatian kita kurang terhadap usaha-usaha untuk memperbaiki diri kita sendiri maka bentuk cinta diri seperti ini adalah bentuk yang negatif, yang pada kondisi tertentu bisa menjadi berhala (idol) terbesar dan lebih buruk dari semua berhala.

Cinta diri seperti ini adalah raja dari segala berhala yang akan memaksa kita untuk menyembahnya dengan kekuatan yang lebih besar daripada berhala-berhala yag lain. Sebelum seseorang mampu menghancurkan berhala ini, niscaya ia tidak akan berpaling kepada Allah. Allah dan berhala, egoisme dan keilahian tidak dapat berada dalam hati kita secara bersamaan. [14]

Imam Khomeini qs mengatakan, “Waspadalah bila (semoga Tuhan melindungi kita) cinta dunia dan cinta diri mulai meningkat dalam dirimu sampai ke suatu titik di mana Iblis mampu mengambil keimananmu. Dikatakan bahwa seluruh usaha Iblis ditujukan kepada hal ini, seluruh tipu dayanya, di malam dan siang hari, bertujuan untuk mencabut keimanan manusia. Tak seorang pun dapat menjamin bahwa kalian akan tetap mempertahankan iman kalian selamanya. Keimanan kalian mungkin diberikan hanya sebagai pinjaman, sehingga pada akhirnya Iblis akan berhasil mengambilnya kembali dari kalian dan kalian akan meninggalkan dunia ini dengan penuh rasa benci pada Tuhan dan para awliya-Nya. [15].

Jadi pergumulan dengan diri adalah pergumulan dengan keterbatasan diri, karena itu cinta diri (negatif) tidak lain daripada keterbatasan atas proses konsepsi dan motivasi. Cinta sejati mengarahkan kasih sayang dan naluri manusia ke luar dirinya.

Cinta sejati meluaskan eksistensinya dan mengubah titik fokus dalam wujud manusia. Dengan alasan yang sama, cinta sejati adalah faktor moral agung dan mendidik, dengan syarat bahwa ia mesti memperoleh tuntunan yang baik dan digunakan dengan tepat. [16]

DIALOG AL HALLAJ DENGAN IBLIS

Al-Hallaj dijatuhi hukuman mati, ia diseret ketiang gantungan. Beliau disiksa dan dihinakan oleh pemerintah pada masa itu. Ketika al-Hallaj meringkuk lemah di tiang kematiannya, Iblis datang dan bertanya kepadanya, “Kamu telah mengatakan ‘Aku’ dan aku pun telah mengatakan ‘Aku’. Tetapi mengapa kamu mendapatkan ampunan Tuhan yang abadi sedangkan aku mendapatkan kutukan abadi?”

“Engkau mengatakan ‘Aku’ seraya memandang besar pada dirimu sendiri, sementara aku menjauhkan diriku sendiri dari diri (ego). Oleh karena itu, aku memperoleh ampunan dari Tuhan sedangkan engkau mendapatkan kutukan. Memandang besar diri adalah hal yang tidak layak, sedangkan melepaskan diri (ego) adalah perbuatan baik di atas semua kebaikan!” [17]

Selama egomu menyertaimu,

Engkau takkan pernah tahu apa-apa tentang Tuhan,

Karena ego itu tidak menyukai al-Insan al-Kamil

~ Abu Sa’id Abi al-Khayr

Baju siapa pun yang lumat oleh cinta,

Tercuci bersih dari tamak dan noda!

~ Rumi, Matsnawi I

Selasa, 23 November 2010

TINGGALKAN KERAGUAN, RAIH KEYAKINAN

Ragu adalah penyakit yang sering menghantui banyak orang. Karena keraguannya, tidak sedikit manusia yang celaka lantaran tidak memiliki pegangan hidup yang jelas. Orang seperti ini bisa dikata melewati kehidupannya dengan kebingungan.

Membiasakan membiarkan keraguan datang, hanya menambah kerugian. Sebab hidup butuh kepastian dan keyakinan. Ragu untuk hal-hal yang belum pasti boleh saja, tetapi jangan untuk permasalahan yang sudah jelas. Apalagi yang menyangkut nasib dunia akhirat, termasuk di dalamnya pemilihan jalan dan sikap hidup.

Orang yang tak memiliki keyakinan gampang sekali diombang-ambingkan keadaan. Ketika orang lain ramai-ramai ke utara, ia dengan mudah ikut ke utara. Demikian juga ketika angin bertiup ke selatan, ia menurutinya tanpa banyak pertimbangan. Halal atau haram, baik atau buruk, tidak menjadi dasar keputusannya, karena ia sendiri tidak yakin bahwa yang halal akan membawa berkah dan kebaikan.

Orang yang ragu begitu gampang tersesat, ibarat orang berjalan tanpa petunjuk. Mana dan apa yang dituju tidak jelas, atau tidak tegas dijadikan acuan arah melangkah. Akhirnya di perjalanan terombang-ambing oleh arah telunjuk orang. Bila tak sampai, maka tidak bisa menyalahkan siapa-siapa kecuali dirinya sendiri.

Karena tingkat bahayanya itu, Islam menuntun ummatnya supaya menghilangkan segala macam keraguan, utamanya dalam menentukan jalan hidup. Al-Qur'an menuliskan, di antaranya:

"Kebenaran itu dari Rabb-mu, maka janganlah kamu menjadi orang yang ragu-ragu." (Ali 'Imran: 60)

Islam menghendaki sikap totalitas dari ummatnya. Kalau muslim ya muslim, jangan kadang-kadang Islam kadang-kadang tidak. Yang 'kadang-kadang' ini dikatagorikan tetap sebagai bukan muslim. Penyerahan diri kepada Allah sebagai wujud pengakuan kehambaan, wajib dilakukan sepenuh hati. Tanpa itu tidak akan diterima sebab masih tersirat di sana penyerahan diri kepada selain Allah.

Manusia hidup memikul konsekuensi, apapun jalan yang dipilihnya. Dan akibat dari yang dilakukan seseorang, mutlak menjadi tanggung jawabnya sendiri di hadapan Allah. Karena itu sangat fatal bila semasa di dunia, seseorang tidak kunjung memiliki keyakinan hidup. Apa nanti yang akan dijadikannya pembela di pengadilan akhirat? Amalnya, tidak dilandasi niat yang pasti, karenanya dinyatakan batal. Ia sendiri juga tidak siap menghadapi kenyataan bahwa alam akhirat benar-benar ada, karena semasa di dunia ia kadang-kadang masih mengira bahwa hidup ini hanya sekali saja.

Yakinlah akan kebenaran Islam, karena hanya itu yang akan menyelamatkan manusia. Sama-sama belum pernah mati, alangkah baiknya bila kita mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan terburuk. Kepada yang masih ragu-ragu akan adanya hari akhirat, bukankah lebih baik meyakini keberadaannya sejak sekarang, ketimbang dikira tidak ada tetapi ternyata nanti setelah mati, benar-benar ada? Allah swt berfirman, "Sesungguhnya hari kiamat pasti akan datang, tidak ada keraguan tentangnya, akan tetapi kebanyakan manusia tiada percaya." (QS. Al-Mu'min: 59)

Islam mensyaratkan 6 hal untuk diyakini sebagai pondasi keimanan seseorang. Setelah percaya kepada Allah sebagai Rabb, percaya adanya malaikat Allah, percaya adanya kitabullah yang benar-benar diturunkan untuk manusia, percaya adanya hari akhirat, dan percaya kepada utusan-utusan Allah, manusia juga dituntut untuk percaya kepada ketentuan (taqdir) Allah. Kepercayaan ini wajib melekat dan benar-benar diyakini sepenuh hati. Sebab bila belum yakin bahwa Allah mengutus rasul di muka bumi, seseorang tidak akan bersedia mengikuti tuntunan Nabi. Bila belum percaya bahwa isi kitab Allah seluruhnya benar, tidak mungkin pula seseorang akan mengikuti petunjuk di dalamnya secara penuh.

Paling-paling hanya akan memilih yang enak-enak dan menghindari yang memberatkan. Orang demikian sama halnya dengan orang yang kafir, yang tegas-tegas seratus persen tidak percaya.

Sebagai penyakit, keraguan tergolong penyakit menular yang sangat mengganggu kesehatan ruhani. Banyak orang yang ragu akan kebenaran ini mewarnai kehidupan, kemudian menularkan keraguannya kepada yang lain. Akibatnya jumlah orang-orang yang ragu ini semakin banyak saja.

Ungkapan orang yang ragu dengan kehidupan akhirat sering indah dan memiliki daya tarik sangat kuat. Yang lebih berbahaya lagi kalau dilengkapi sejumlah bukti dan ayat untuk mengokohkan argumentasinya. Dengan kecenderungan manusia untuk mengejar kenikmatan dunia, menyebarkan keraguan akan akhirat menjadi lebih gampang. Manusia dibuat lupa, lewat berbagai kesibukan yang menghabiskan waktu dan tenaganya.

Kadang ungkapan itu terasa halus, namun tetap mengisyaratkan bahwa keraguan telah menjiwainya. Misalnya tentang perlunya keseimbangan dunia dengan akhirat. Penafsiran yang disodorkan tentang masalah ini, kadang cenderung tendensius dengan hanya mensyaratkan kaum muslimin hidup kaya di dunia agar bisa kaya di akhirat. Bahasa-bahasa yang sudah lazim terdengar, kita tidak boleh menjadi kelompok yang lemah sehingga akan dengan mudah dikalahkan musuh. Dengan kekayaan kita menjadi kuat.

Tentu saja pernyataan itu tidak keliru. Sebagai wujud tanggung jawab keummatan hal itu betul saja, apalagi Rasulullah melalui haditsnya juga lebih mencintai ummat yang kuat daripada yang lemah. Yang menjadi masalah adalah karena terlalu sedikitnya porsi hidangan yang mengantarkan kita kepada keyakinan tentang kehidupan yang abadi. Bahkan terkesan uraian-uraian yang ada menyangkut ke-akhiratan itu dibahas secara sambil lalu saja, seolah-olah masalah akhirat adalah masalah yang ringan dan bisa dilakukan secara sambilan.

Bukankah kita layak bersedih bila ancaman siksa kubur maupun kabar-kabar tentang hari akhirat ketika diceramahkan, malah diperlakukan seperti lelucon? Mengapa berita tantang adzab yang pedih ketika disampaikan kok jadi lucu? Mengapa tidak timbul rasa kekhawatiran dan kecemasan, justru yang muncul adalah tawa terbahak-bahak?

Bukankah di kalangan para sahabat, yang telah melakonkan agama ini pada periode awal, sekali mendengar kabar ini mereka menangis tersedu-sedu dan beristighfar, agar dijauhkan dari apa yang diancamkan? Pergeseran apa yang sedang terjadi dalam diri manusia? Tidak mungkin wahyunya yang keliru. Kebenaran wahyu sifatnya abadi sepanjang masa. Ayat-ayat-Nya tetaplah suci dan mulia sampai akhir zaman. Yang perlu dilakukan peninjauan, adalah pada hati kita. Mungkin di sana telah bersarang berbagai jenis penyakit. Kita mulai tidak yakin akan ancaman siksa akhirat maupun pahala. Seakan-akan, karena selama di dunia kita senantiasa bisa hidup enak, di akhirat tidak akan ada lagi kesusahan.

Keseimbangan unsur dunia dengan akhirat tidak hanya diukur dari 'kesejahteraan'. Manusia dituntut untuk berupaya memenuhi tuntutan hidupnya semasa di dunia, tetapi jangan sampai melanggar aturan yang akan menyebabkannya celaka di akhirat. Manusia juga tidak boleh menelantarkan hidupnya hanya dengan alasan ingin mendapatkan akhirat, karena hal ini justru bertentangan dengan ketentuan Allah swt.

Bahaya munafik.

Pada awalnya, kelompok orang-orang yang ragu ini diketuai oleh Abdullah bin Ubay pada zaman Rasulullah. Kelompok mereka kemudian dikenal sebagai kaum munafik. Karena tidak punya pendirian, mereka juga disebut sebagai kelompok plin-plan. Menyatakan sebagai kafir tidak, tetapi membela kaum muslimin juga tidak, karena tidak yakin akan kemenangan maupun janji akhirat. Akhirnya, kelompok Abdullah bin Ubay menjadi pangkal perselisihan antar ummat Islam karena hembusan fitnah dan analisisnya atas hal-hal yang tidak diketahuinya secara pasti.

Tidak mustahil penyakit seperti itu juga menimpa diri kita. Sifat-sifat manusia yang serba pelupa, sombong, gemar pamrih sekalipun dhaif, memang sangat rentan terhadap penyakit keraguan dan (akhirnya) kekhawatiran. Karena informasi yang tendensius, seseorang bisa berubah fikiran dan menjadi ragu-ragu. Jangan-jangan... jangan-jangan.., begitu pertimbangan-pertimbangan yang muncul.

"(Ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya berkata, 'Mereka itu (orang-orang mukmin) ditipu oleh agamanya.'"(QS Al-Anfaal: 49)

Mungkin secara terus-terang kita tidak pernah mengungkapkan 'pelecehan' seperti ini. Akan tetapi ungkapan yang bernada 'tidak akan beruntung kalau menekuni agama selalu' ini mengandung makna tidak jauh berbeda dengan yang disampaikan oleh orang-orang munafik dan orang-orang berpenyakit hati dalam ayat di atas. Ini suatu kekeliruan yang hendaknya diluruskan.

"Dan tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan sendau-gurau dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia." (QS Al-An'aam: 70)

Mari tinggalkan keraguan. Kita geluti dan seriusi agama Allah sebagai jalan satu-satunya menuju keselamatan dunia akhirat. Ingatlah di majelis pengadilan oleh para malaikat nanti, tidak akan ditanyakan warna apakah pakaian kita, pada pemilu memilih gambar apa, apakah kita sudah pernah mencicipi nasi kebuli atau belum, dan sebagainya. Yang harus kita pertaruhkan nantinya adalah nurani kita sendiri, yang didukung oleh sikap hidup dan konsistensi kita.

Kamis, 18 November 2010

ARTI KEHIDUPAN.....

Coba tanya diri anda masing – masing. Apa arti hidup menurut anda?

Hidup adalah …. .

Coba isi titik – titik yang tersedia setelah kata adalah. Pertanyaan ini sederhana, namun saya yakin isinya pasti beragam. Bisa jadi hidup adalah perjuangan, atau hidup adalah tantangan, atau hidup adalah perjalanan, dll.

Jawaban dari pertanyaan tadi bisa jadi beragam, namun ada satu hal yang perlu diperhatikan : Jawaban dari pertanyaan tersebut mencerminkan keyakinan anda atas kehidupan. Orang yang meyakini bahwa hidup adalah perjuangan akan melihat bahwa hidup adalah sebuah perjuangan yang harus di perjuangkan. Maka dari itu, hari hari dalam hidupnya akan dijalani dengan berjuang. Sedangkan orang yang meyakini bahwa hidup adalah tantangan, akan melihat bahwa hidup yang dijalaninya adalah tantangan yang harus di pecahkan. Dia akan menjalani kehidupannya dengan “memecahkan tantangan”. Orang yang meyakini bahwa hidup adalah perjalanan akan melihat bahwa hidup adalah sebuah perjalanan panjang yang harus dicapai tujuannya. Maka dari itu dia akan menjalani kehidupannya dengan “berjalan” diatasnya.

Cara kita meyakini kehidupan akan berimbas ke pola pikir kita. Pola pikir akan mempengaruhi tindakan, dan tindakan akan menghasilkan nasib.

Sekarang, bagaimana kita sebagai orang beriman seharusnya memandang kehidupan?

Terjemahan Q.S. Al – Hadid ( 57 ) Ayat 20 :

Ketahuilah, sesungguhanya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurauan, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam – tanamannya mengagumkan para petani; kemudian ( tanaman ) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu.

Catatan : hidup adalah permainan. Waw, apakah ini berarti yang kita lakukan selagi hidup ini adalah bermain dan bersenang – senang?

Pahami konteks keseluruhan tersebut. Pemahaman yang coba di ajarkan Tuhan melalui (terjemahan) wahyu ini adalah bahwa hidup adalah sebuah permainan yang jangka waktunya pendek, maka dari itu kita harus menjadi pemain dari “permainan kehidupan”, bukannya main – main dalam kehidupan.

Maksudnya?

Pemain adalah mereka yang memainkan permainan dengan serius. Cermati contoh ini : pemain sepak bola. artinya? Mereka yang bermain sepak bola yang serius mengikuti permainan sepak bola dan mematuhi peraturan – peraturannya.

Sekarang perhatikan mereka yang menjadikan dirinya “pemain” sepak bola yang sungguh – sungguh : contoh, Kaka. Apa yang Tuhan berikan kepada Kaka yang menjadikan dirinya “pemain” sepak bola? kehidupan yang luar biasa, penghasilan yang melimpah, popularitas, jutaan penggemar, dll.

Itu baru menjadikan diri sebagai “pemain” sepak bola yang notabene dibatasi oleh 45menit X 2 dalam lapangan rumput persegi dan bola bundar.

Bisa bayangkan apa yang akan Tuhan berikan jika anda menjadi “pemain” dari permainan besar kehidupan? Menjadikan diri anda seorang manusia profesional yang mengikuti peraturan dunia dan “bermain” / menjalani kehidupan dengan serius?

Tanya kembali diri anda : Apa arti kehidupan bagi anda?

  1. Sebelum ada yang bertanya apa itu peraturan kehidupan? jawabannya adalah peraturan ( dan petunjuk ) yang di sampaikan oleh Nabi yang menjadi panutan anda. Apa lagi memangnya?
  2. Materi ini saya dapat dari forum liqo yang saya ikuti tadi malam. Liqo secara bahasa bermakna lingkaran, sedangan liqo secara istilah yang saya maksud disini adalah sekumpulan orang yang duduk membentuk lingkaran kecil ( antara 5 – 10 orang ), dimana dalam forum tersebut ada seorang yang berperan menjadi mentor dan sisanya menjadi murid. Yang dibahas dalam forum liqo adalah berbagai hal yang benang merahnya adalah peran kita di dunia sebagai seorang beriman yang perannya adalah menjadi rahmat bagi seluruh alam.
  3. Saya setuju dengan Bapak Ary Ginanjar : Jika ada ayat dari Al – Qur’an yang saya kutip, bukan bermakna tulisan ini ditujukan untuk penganut agama islam saja. Bukan dunia untuk islam, melainkan islam UNTUK dunia.

Rabu, 17 November 2010

Solusi kreatif

Edwar De Bono di kenal sebagai guru berfikir kreatif, menurutnya bila suatu masalah tidak bisa di selesaikan dengan cara yang biasa , maka kita perlu mencari solusi " jalan putar atau kebalikan " agar kita bisa melihat masalah itu dari sudut pandang yang berbeda.
De Bono lalu memberikan ilustrasi sebagai berikut:
Sebuah perusahaan pindah ke gedung lain yang lebih bagus namun ternyata liftnya terlalu sedikit sehingga menimbulkan antrian panjang dan waktu yang lama bagi para karyawannya untuk sampai di kantor mereka.
Perusahaan ini perlu mnegumpulkan para stafnya. merekapun berembuk bagaimana cara memecahkan masalah ini, setelah tukar pikiran yang panjang, maka di dapatlah 4 alternatif pemecahan yaitu:
1. menambah kecepatan liftnya
2. Mengatur jam kerja untuk mengurangi penggunaan lift pada saat bersamaan
3. Memasang cermin di pintu lift
4. Menambah lift baru

Menurut Profesor De Bono bila anda memilih No 1,2, atau 4 maka anda adalah orang yang berfikir "vertikal" atau tradisional. Bila anda memilih alternatif No 3 berarti anda adalah pemikir "lateral" atau kreatif. Pemikiran vertikal melihat masalah dengan lebih sempit, sedang pemikir lateral melihatnya lebih luas.
Perusahaan ini lalu memilih alternatif ke tiga dan ternyata solusi ini berhasil dengan baik.
Orang sangat suka memperhatikan diri mereka sendiri, ataupun melirik-lirik orang lain" kata De Bono, mereka tidak lagi mempedulikan bahwa mereka sedang menunggu lift.
Ternyata masalah sesungguhnya bukanlah lift yang kurang, melainkan kurangnya kesabaran dari para karyawan.

Selasa, 16 November 2010

Hidup perlu pengorbanan


semarang-10-1280x102411Hidup itu perlu pengorbanan, semua apa saja di dunia ini tidak dapat kita nikmati tanpa adanya sebuah pengorbanan, karene semua memang sudah sesuai dengan hukum alam yang terjadi atas kita semua. Manusia ingin makan dia mesti berjuang untuk mendapatkan makan itu, atau kita pengen dapatkan kesenangan semua juga dengan sebuah perjuangan yang tidak ringan.

Perjuangan yang ditempuh dalam mencapai tujuan itu beragam juga rintangan yang dihadapi, ada yang mudah, tapi ada juga yang sebaliknya sulitnya minta ampun untuk mendapatkannya, bahkan mungkin saking sulitnya ibarat sudah sampai menangis darah belum juga didapatkannya. Inilah sebuag gambaran pengorbanan dalam hidup yang tidak mudah dilampaui oleh kita semua

Jelas sekali kita pahami bahwa pengorbanan itu diperlukan untuk mencapai cita-cita yang diinginkan, banyak pula orang yang masih saja menginginkan semua dia capai tanpa pengorbanan yang susah payah, dengan cara yang instant, ambil contoh saja banyak orang yang pengen cepat jadi selebritis akhirnya banyak pula yang berbodong bondong ikut casting acara penyaringan bakat di TV, dengan tujuan mendapatkan letenaran dalam waktu yang singkat.

Marilah kita ingat, pahami dan pedomi dengan benar dalam hidup, apapun yang dikerjakan janganlah pernah berfikir semua dengan instant, karena sesungguhnya banyak sekali yang instant itu justru membuat kita tidak mendapatkan yang diinginkan tapi sebaliknya akan terjebak dengan kondisi yang akhirnya merugikan diri kita sendiri akibat ketidak sabaran diri karena ingin cepat mencapai tujuan itu tadi

Sekali lagi percayalah, jangan mengejar yang instant, lalui saja semua yang ada sesuai dengan hukum alam yang berlaku dalam diri kita, karena sesungguhnya apapun pengorbanan yang kita laksanakan walaupun kata orang gagal, itu bukanlah sebuah kegagalan, tapi langkah awal kita menuju yang kita inginkan, walaupun awalnya adalah sebuah kegagalan. Karena dari kegagalan itulah kita akan ditempa untuk lebih baik lagi dalam melakukan sesuatu itu, sehingga suatu saat outpunya bukanlah lagi sebuah kegagalan tapi berupa kesuksesan sesuai yang diinginkan

Tetap semangat dan tidak berputus asa adalah kunci yang terbaik dalam mencapai sebuah kesuksesan dari pengorbanan yang telah dikerjakan oleh diri kita ini, semoga kita selalu berevaluasi diri tentang semua pengorbanan yang telah kita lakukan apapun itu supaya mendapatkan keberhasilan yang nyata

Rabu, 10 November 2010

CARA MEMBANGUN OPTIMISME


"SUDAHLAH! Jangan ngoyo, kita nggak akan berhasil!" Kata-kata seperti ini mungkin pernah kita dengar pada saat orang atau kelompok orang menyusun rencana dan target kerja.

Ada dua kemungkinan mengapa kata-kata ini keluar dari mulut seseorang. Pertama, rencana yang dibuat memang tak realistis. Kedua, ada orang yang selalu memandang berat setiap masalah. Alasan kedua inilah yang biasa disebut sebagai sikap pesimis.


Sikap pesimis merupakan halangan utama bagi seseorang untuk menerima tantangan. Orang yang telah terjangkiti virus pesimis selalu merasa hidupnya penuh dengan kesulitan. Ia selalu berada dalam ketidakberdayaan menghadapi masa depan.

Penyakit pesimis dapat terbangun akibat proses pendidikan yang kurang baik: bisa dari masa kecil atau akibat peristiwa sesaat yang sangat menyakitkan. Penyebab pertama, biasanya akan lebih sulit diperbaiki, karena pesimisme telah menyatu dalam kepribadian orang tersebut. Mereka memiliki konsep diri yang kurang baik dan memiliki pandangan yang buram terhadap kehidupan dan masa depan nya. Sedang pesimisme yang terjangkit akibat pengalaman pahit, lebih mudah diatasi sejauh orang tersebut dapat menata kembali target dan langkah-langkahnya dalam mencapai target tersebut.

Berikut beberapa-hal yang dapat menumbuhkan perasaan pesimistis dalam diri seseorang:

1. Terlalu sering dibantu. Anak yang tumbuh dalam suasana sering dibantu seringkali tak dapat mengenali kemampuannya. Ia akan sering mengatakan, "Saya tak bisa." Ini terjadi karena anak tak dibiarkan menghadapi kesulitan sedikitpun. Ketika si anak mengeluh tentang sulitnya ‘PR’ dari sekolah, orang tua lantas mengambil alih PR tersebut. Ketika anak menghadapi masalah dengan mainannya, orang tua segera mengatasi masalah tersebut. Dalam jangka panjang, anak ini akan tumbuh sebagai orang yang merasa tak mampu menghadapi kesulitan. Ia akan selalu mengharapkan bantuan orang lain dalam mengatasi masalah-masalahnya. Manakala bantuan itu tak ia peroleh, ia pun merasa tak dapat berbuat apa apa.

2. Terlalu sering dilecehkan. Orang yang dalam masa pertumbuhannya seringkali dilecehkan akan menganggap dirinya menjadi orang terbodoh se-dunia. Keadaan ini tentu membuatnya memandang buram potret diri dan masa depannya. Ia juga akan merasa tak mampu mengatasi persoalannya sendiri.

3. Sikap negatif terhadap kegagalan. Kalau kita lihat dalam keseharian, ada orang yang merasa selalu ditimpa kegagalan. Pada kenyataanya, tak ada seorang pun di dunia ini yang selalu gagal dan tak pernah berhasil. Masalahnya adalah bagaimana ia menyikapi kegagalan. Ada orang yang merasa begitu hancur ketika ditimpa kegagalan. Kegagalan menjadi peristiwa yang amat besar dalam hidupnya, sebab keberhasilan tak pernah ia syukuri sedikitpun. Akibatnya, ia merasa sebagai pecundang, bodoh dan tak punya masa depan.

4. Dampak optimisme berlebihan. Optimisme berlebihan seringkali menyisakan pengalaman pahit dalam diri seseorang. Pengalaman ini membuat orang tak lagi bergairah membicarakan target-target yang telah gagal itu. Orang seperti ini menghadapi trauma untuk membicarakan hal tersebut. Keadaan seperti ini tentu akan menyulitkan bagi orang tersebut untuk bangkit dari kegagalan. Ia akan lebih tertarik untuk membicarakan dan memulai hal-hal baru daripada mengulang kembali pengalaman pahit tersebut.

Pesimisme, baik yang dialami oleh individu maupun kelompok, memang harus diatasi. Namun, dibutuhkan keteguhan dalam membatasi masalah kejiwaan yang satu ini, karena pesimisme terbangun dari pengalaman dan kita tak bisa mengubah hal-hal yang telah terjadi. Ada bebarapa hal yang mungkin dilakukan untuk membangun kembali optimisme kita:

1. Temukan hal-hal positif dari pengalaman masa lalu, sepahit apapun pengalaman itu. Dalam kegagalan, sekalipun masih ada keberhasilan-keberhasilan kecil yang terselip, cobalah temukan keberhasilan itu dan syukuri keberadaannya. Upaya ini paling tidak akan mengobati sebagian dari perasaan hancur yang kita derita. "Tapi bagaimanapun saya telah gagal" Buang jauh-jauh pikiran tersebut, karena pikiran tersebut tak akan membantu kita dalam meraih nikmat Allah berikutnya. Allah hanya akan menambahkan nikmatNya pada orang yang mau mensyukuri pemberianNya meskipun nikmat itu sedikit.

2. Tata kembali target yang ingin kita capai. Jangan terbiasa membuat target yang berlebihan. Kita memang harus optimis, tapi kita perlu juga mengukur kemampuan diri sendiri. Kita juga perlu menelaah lebih jeli cara apa yang mungkin kita lakukan untuk mencapai target tertentu. Cara Irak menghadapi agresor/penjajah AS mungkin dapat dijadikan contoh. Dari awal Irak tak mengatakan akan menang dalam pertempuran. Tapi mereka hanya mengatakan "AS akan menghadapi kesulitan jika berhadapan dengan tentara dan perlawanan rakyat Irak." Irak pun menghitung-hitung dalam medan mana ia dapat memberikan perlawanan yang sengit terhadap para agresor/penjajah tersebut. Mungkin Irak berusaha memenangkan pertempuran di medan opini dunia dan jalur diplomatik. Ini adalah satu contoh bagaimana sebaiknya menetapkan target dengan melihat kemampuan dan keterbatasan yang dimiliki.

3. Pecah target besar menjadi target-target kecil yang dapat segera dilihat keberhasilannya. Seringkali ada manfaatnya untuk melihat keberhasilan-keberhasilan jangka pendek dari sebuah target jangka panjang. Hal ini akan semakin menumbuhkan semangat dan optimisme dalam diri kita. Tentu kita harus terus mensyukuri apa yang kita peroleh dari capaian target-target kecil tersebut. Jangan pernah terbetik dalam hati, "Ah baru segini, target kita masih jauh." Sikap ini sama sekali tak membangun rasa optimis.

4. Bertawakal kepada Allah. Menyadari adanya satu kekuatan yang dapat menolong kita di saat kita menghadapi rintangan merupakan modal dasar yang cukup ampuh dalam membangun optimisme. Bertawakal tentu harus dilakukan bersamaan dengan upaya kita memperbaiki target dan strategi pencapaiannya.

5. Langkah terakhir kita perlu merubah pandangan kita terhadap diri sendiri dan kegagalan. Kita perlu lebih sayang dan menghargai diri sendiri. Jangan kita terus menerus mengejek diri sendiri. "Aku ini orang bodoh, tak bisa apa apa." Ini bukanlah sikap merendah, tapi merupakan sikap ingkar terhadap kelebihan yang telah Allah karunikan kepada kita. Wallahu’alam.

Senin, 08 November 2010

MEMAHAMI MAKNA PERPISAHAN


“Setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan, dan setiap perpisahan pasti menyisakan luka dan kepedihan”

Suka atau tidak suka semua orang termasuk saya dan anda yang hidup didunia ini pasti mengalami hal yang satu ini, “Perpisahan”. Ya kata itu merupakan kata yang mempunyai probabilitas besar untuk terjadi pada kita semua. Dari kalimat diatas, dapat ditafsirkan bahwa perpisahan itu pasti ber-ujung pada kesediah, walaupun hanya sedikit saja. Tapi tidak semua orang berpendapat seperti kalimat yang saya tuliskan diatas.

Anda tentu yang tidak setuju pasti menyangkal kalimat saya diatas, tapi ketika anda telah mengalami suatu perpisahan yang menyedihkan perasaan anda, maka anda pasti setuju dengan apa yang saya tulis diatas. Hal perasaan setuju dan tidak setuju itu adalah perkataan naluriah atau alami dari setiap kita, dan itu merupakan cirri khas dan keistimewaan kita kita sebagai manusia untuk menyatakan perbedaan pendapat.

Tapi disini saya tidak akan menjadi hakim, yang akan menghakimi anda dalam hal pendapat yang anda pikirkan sekarang ini, tapi saya akan sedikit membuka sedikit keterbukaan anda untuk sekedar membaca paendapat saya tentang makna Perpisahan, yang mungkin akan sedikit membuat benak anda berkata ya atau tidak.

Mari kita buktikan…..

Pisah secara bahasa berarti menjauhnya jarak suatu benda dari objek yang mengenainya. Secara harfiah seolah-olah perpisahan itu hanya perpisahan sebuah benda dengan benda lain sehingga jaraknya terpaut lebih jauh dari kedudukanya semula. Tapi kalu menurut saya, mungkin jugas sebagian anda, perpisahan adalah menjauhnya suatu ikatan batin (hanya ikatan batin saja) dari seseorang terhadap seseorang lainya ataupun dengan objek yang mempengaruhi batin seseorang itu atau berpisahnya seseorang selamanya tanpa pernah bisa berkomunikasi lagi.

Ada sebuah studi kasus yang menarik tentang perpisahan, mari kita tilik bersama …..

Ikeuchi Aya, seorang gadis 15 tahun yang cantik dan penuh semangat remaja. Semangat yang besar itu telah mampu membawanya menuju cita-cita besar dirinya dan orang tuanya untuk menjadi salah satu murid salah satu sekolah SMA terkemuka di Jepang. Tapi semangat itu menjadi berwarna lain setelah dirinya divonis menderita spinocerebellar degeneration disease, suatu penyakit yang membuatnya sedikit demi sedikit mengalami kematian saraf-saraf otaknya yang mengakibatkan fungsi tubuh tidak bisa berjalan secara biasanya. Tapi warna apa yang mewarnai semangatnya?, ya kalau boleh saya pilihkan warna, maka Merahlah warna yang cocok untuk perubahan semangat yang dimiliki seorang Ikeuchi Aya. Merah bukan berarti semangat itu menjadi semacam amarah yang dapat membakar dan merepotkan orang-orang disekitanya, tapi semangat merah yang berati panas, panas yang membawa radiasi kesekitarnya yang menularkan semagat itu pada seluruh keluarga dan teman-temannya, bahkan orang-orang yang sama sekali tidak dikenalnya.

Apa penyebab seseorang yang divonis sakit dan tidak dapat disembuhkan menjadi bersemnat merah itu?

Tidak lain karena seorang Ikeuchi Aya menyadari betul apa yag dinamakan perpisahan. Perpisahan antara dia, dengan keluarga tercintanya, teman-temanya dan orang-orang yang menyayanginya yang disebabkan oleh kematian. Sehingga perpisahan yang dirasakan oleh oleh Ikeuchi aya adalah perasaan untuk berguna dan menghabiskan sisa hidupnya untuk menolong dan membahagiakan orang disekitarnya. Demikian juga orang disekitarnya yang menerima radiasi semangat itu menjadi lebih membuka diri untuk selalu membuat orang lain bahagia. Ikeuchi Aya dengan buku hariannya walaupun telah meninggal 20 tahun yang lalu tetapi mampu membuat orang-orang yang sakit dengan penyakit yang sama, untuk bangkit dan bersemangat menjalani sisa hidup. ( 1 Litre of Tears )

“Perpisahan mampu membuat seseorang bangkit menjalani hidup, karena perpisahan itu sebuah kepastian sehingga sebelum perpisahan itu dating maka gunakanlah masa bersamamu itu dengan penuh kenangan bahagia”

Itulah salah satu makna perpisahan dari seorang Ikeuchi Aya, tapi lain dari Ikeuchi Aya yang tanpa sadar mampu membangkitkan semangat orang lain untuk hidup, lain juga dengan seorang manusia paling agung dan manusia paling berpengaruh sepanjang masa, Rasulullah Muhammad SAW.

Ketika orang lain sibuk memikirkan diri sendiri atau mungkin istri dan keluarganya ketika dia sakit dan tau bahwa umur yang diberikan Tuhan kepadanya tidak panjang panjang lagi, maka beda dengan Rasulullah, peristiwa haji wada, haji terakhir yang Rasul lakukan dengan para sahabat dan pengikutnya telah mampu menjadi bukti bahwa beliau adalah tauladan yang baik dan rahmat bagi seluruh alam. Melalui khotbah Rasul pada haji wada maka kita akan dapat menyaksikan babgaimana seorang utusan tuhan yang sangat mencintai ummatnya.

Silakan anda simak sebagian dari Khutbah beliau ini :

“Wahai manusia, dengarkanlah apa yang hendak kukatakan. Mungkin sehabis tahun ini, aku tidak akan bertemu lagi dengan kalian ditempat ini untuk selama-lamanya…. Hai manusia, sesungguhnya darah dan harta kalian adalah suci bagi kalian (yakni tidak boleh di nodai oleh siapapun juga) seperti hari dan bulan suci sekarang ini dinegeri kalian ini. Ketahuilah, sesungguhnya segala bentuk perilaku dan tindakan jahiliah tidak boleh berlaku lagi. Tindakan menuntut balas atas kematian seseorang sebagaimana yang berlaku di masa jahiliah juga tidak boleh berlaku lagi…” seterusnya di Sirah Nabawi

Dari sini, anda dapat menyadari bahwa perpisahan itu tidak hanya ajang untuk bersedih hati, tapi juga ajang untuk bermuhasabah diri untuk meng-akselarasikan diri ini untuk menjadi pribadi yang baik dan lebih baik dari hari ini.

“Perpisahan akan membawa kebahagian jika kita menganggapnya sebagai pelajaran hidup. Tapi dia akan menjadi perusak pribadi jika perpisahan diartikan menjadi inisiator kemurungan dan kesedihan”

Jadi mari kita bersama-sama hilangkan kaliamat dibawah ini.

“Setiap ada pertemuan pasti ada perpisahan, dan setiap perpisahan pasti menyisakan luka dan kepedihan”

Semoga bermanfaaat

Sabtu, 06 November 2010

SABAR dan PASRAH


Kebahagiaan tetaplah perasaan yang merupakan rahasiaNya. Sampai akhir masa bumi ini, kita tetap sebagai manusiaNya yang lemah. Meskipun di zaman sekarang ini kita termasuk dari bagian sekelompok manusia yang merasa pandai karena telah dapat menggapai langit dan menggali bumi sekalipun.

Satu-satunya cara untuk memahami ini adalah dengan memberdayakan anugerah yang telah diberikan kepada kita sebagai manusia, yaitu akal dan nurani. Dengan memberdayakan anugerah itu, kita akan menemukan bahan perenungan yang dengan pemahaman mendalam akan terbaca sebuah makna, bahwa pada akhirnya kebahagiaan sejati tetaplah sesuatu yang dilandasi dengan keyakinan akan takdir, sehingga akan menggiring kita ke arah ketabahan, kepasrahan, keteduhan hati dan keikhlasan.

Takkan ada sesal dan keterpurukan berlebihan dalam hidup jika setiap apa yang kita lakukan di bumi adalah tingkah laku yang menyorotkan cahaya kesabaran dan kepasrahan, dan itu tentu akan membuat kita selalu yakin akan keridhaan Ilahi yang akan selalu ada bagi hambaNya yang berserah diri secara ihklas.

Kesabaran dan kepasrahan tentunya bukan seperti makna yang sering diselewengkan oleh banyak manusia di zaman sekarang ini. Kesabaran bukan berarti tanpa berbuat apa-apa, dan kepasrahan bukanya menyerah pada keadaan. Kesabaran adalah ketahanan terhadap cobaan dan ujian yang terjadi dalam hidup, dapat selalu tegar dan terus berusaha melakukan apa bisa dilakukan sebaik mungkin. Karena sesungguhnya jika kita mau memahami, dengan kesabaran terhadap setiap cobaan, maka kita akan dapat memetik pelajaran dari setiap kejadian tersebut. Meski di hari sekarang, itu hanya pelajaran yang secuil, tapi suatu saat di kehidupan nanti dapat saja memberi arti yang besar.

Kepasrahan adalah selalu yakin bahwa setiap kejadian semenjak kita terlahir hingga ajal menjemput nanti adalah apa yang telah digariskan olehNya, hingga dari hal itu kitapun yakin bahwa Dia Maha Adil dan Maha Tahu apa yang pantas diterima oleh hambaNya. Dan kepasrahan itu menjadikan kita selalu bersyukur atas segala apa yang telah diberikanNya, serta tulus ihklas menerimanya.

Tanpa ada penyesalan berlebihan jika apa yang telah digariskan tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan, karena sesungguhnya kita sama sekali tidak pernah tahu secara pasti akan apa yang terjadi di waktu yang akan datang, meski jika itu hanya berselang 3 detik dari sekarang. Tapi yang dimaksudkan kepasrahan tentunya bukan tanpa berbuat apa-apa dan tinggal menerima apa adanya. Kita juga sedikit berperan dengan takdir yang akan kita terima, yaitu dengan bagaimana dan apa yang dapat kita perbuat. Karena dari hal itulah takdirNya tergurat, tentang apa yang pantas kita terima dari apa yang telah kita lakukan.

Kita tidak akan pernah dapat merubah apa yang telah menjadi takdirNya tapi juga tidak pernah tahu seperti apa takdir kita yang digariskan. Untuk itu, kepasrahan haruslah juga diiringi dengan melakukan berbagai hal yang terbaik untuk diri kita serta diridhoi olehNya. Tak ada takdir yang buruk bagi setiap manusia, karena aku yakin Allah tidak akan menyengsarakan hambaNya dengan berbagai kesalahan dalam melakukan pilihan hidup. Bukankah semua pedoman yang lurus dan benar telah diturunkanNya ke bumi ini. Kita saja yang pura-pura tidak memahami itu.

Maka itu semua dikarenakan diri kita sendiri, yang diciptakan sebagai mahkluk sempurna disertai berbagai perangkat kedirian kita. Kita yang memang bisa menjadi lebih pintar dari sebelumnya, kemudian bisa menjadi manusia dengan banyak pertanyaan. Pertanyaan yang bukan untuk semakin mengerti tapi meragukan garis takdirNya. Kemudian merasa bisa hidup sendiri, tak percaya dan tak ingin pasrah padaNya, Maka dengan begitu, sudah bisa dipastikan “buruklah nasip kita”, karena menuai apa yang telah kita lakukan

Rabu, 03 November 2010

KENIKMATAN DUNIA HANYA SETETES AIR DI JARI


Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam bersabda, “Demi Allah, DUNIA ini dibanding AKHIRAT ibarat seseorang yang mencelupkan JARINYA ke LAUT; air yang TERSISA di JARINYA ketika diangkat itulah NILAI DUNIA (AKHIRAT = LAUT)”. (HR Muslim)

Bagaimana untuk memahami hadits di atas?

Kenikmatan di akhirat adalah kenikmatan di SURGA yang luasnya seluas LANGIT dan BUMI.

Allah SWT berfirman, “Dan BERSEGERALAH bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa”. (QS. Ali Imron : 133)

Adakah yang sudah bisa menembus batas LANGIT?

Sampai sekarang tidak seorangpun yang mengetahui batas langit terluar. Sehingga diibaratkan LANGIT ini adalah LAUT, maka BUMI – bagian kecil dari LANGIT- hanyalah satu tetes air yang tersisa di jari bila diceupkan ke LAUT.

Dan kenikmatan yang lebih indah dari surga adalah ‘merasakan’ ridha Allah dan kesempatan berjumpa dengan ‘WAJAH” Allah, Inilah puncak segala kenikmatan. Ketika itu kita akan benar-benar memahami hadits: “Allah itu INDAH dan suka dengan KEINDAHAN”

Kenikmatan di Surga adalah kenikmatan yang tak mampu dibayangkan manusia, di sana banyak keindahan yang tak pernah dilihat oleh mata, keindahan suara yang tak pernah didengar telinga, kenikmatan rasa yang tidak pernah dirasa oleh lidah, dan perasaan damai dan ketenangan yang sesungguhnya.

Janganlah Silau dengan kenikmatan Dunia yang Semu…

Semua itu hanyalah ujian dari Allah, untuk melihat siapa-siapa yang menjadi hamba-Nya dan siapa-siapa yang menjadi HAMBA DUNIA dan hawa nafsu syaithan…

Yang menjadi HAMBA-HAMBA ALLAH… mereka layak mendapatkan KENIKMATAN HIDUP yang SESUNGGUHNYA di SURGA.

Yang menjadi HAMBA-HAMBA DUNIA dan hawa nafsu syaithan… maka mereka layak bersama para SYAITHAN di NERAKA yang MENYALA.

Semoga ALLAH Subhanahu Wa Ta’Aala, selalu membimbing kita dan melindungi kita dari bujuk rayu SYAITHAN agar selamat dari SIKSA NERAKA dan selamat bisa menuju SURGANYA yang tiada tara, tiada terbayang, tiada terbatas NIKMATnya… amiin.

Wallahu ‘alam bishowab.

BERANIKAH KITA MEMBAKAR KAPAL KITA ...???


Dalam sejarah Islam ada panglima perang yang memiliki strategi luar biasa, benar-benar luar biasa karena tidak pernah dilakukan oleh siapapun sebelumnya. Panglima perang tersebut adalah Thariq bin Ziyad yang pada tahun 97 H (sekitar tahun 711 Masehi) memimpin 7,000 pasukan Islam memasuki Spanyol yang dijaga oleh 25,000 pasukan pimpinan Raja Roderick.

Untuk menyemangati pasukannya agar tidak gentar melawan musuh yang memiliki kekuatan jauh lebih besar, dan agar tidak ada satupun dari pasukaannya yang berpikir untuk ambil langkah mundur – apa yang di lakukan Thariq? Dia membakar seluruh kapal-kapal yang dipakai pasukannya untuk mencapai pantai tenggara spanyol. Ketika pasukannya bertanya-tanya tentang apa yang dilakukan sang panglima ini, Thariq menjawabnya dengan pidato yang terkenal sbb:

“Wahai saudara-saudaraku, lautan ada di belakang kalian, musuh ada di depan kalian, ke manakah kalian akan lari? Demi Allah, yang kalian miliki hanyalah kejujuran dan kesabaran. Ketahuilah bahwa di pulau ini kalian lebih terlantar dari pada anak yatim yang ada di lingkungan orang-orang hina. Musuh kalian telah menyambut dengan pasukan dan senjata mereka. Kekuatan mereka sangat besar, sementara kalian tanpa perlindungan selain pedang-pedang kalian, tanpa kekuatan selain dari barang-barang yang kalian rampas dari tangan musuh kalian. Seandainya pada hari-hari ini kalian masih tetap sengsara seperti ini, tanpa adanya perubahan yang berarti, niscaya nama baik kalian akan hilang, rasa gentar yang ada pada hati musuh akan berganti menjadi berani kepada kalian. Oleh karena itu, pertahankanlah jiwa kalian.”

Tekad yang sangat kuat untuk hidup mulia atau mati syahid “Isy Kariman au Mut Syahidan” inilah yang dapat membawa kejayaan Islam dari waktu ke waktu.

Kita tahu akhirnya dalam sejarah bahwa diawali oleh tekad yang sangat kuat dan kebergantungan kepada Allah semata tersebut, Islam menjangkau wilayah yang paling luas beberapa puluh tahun kemudian setelah strategi ini ditempuh Thariq dan pasukan-pasukannya.

Ketika cerita tentang Thariq ini diajarkan secara turun temurun baik di dunia Islam maupun di luar Islam, maka sekitar 800 tahun kemudian, kurang lebih 10 generasi setelah Islam masuk Spanyol – anak keturunan bangsa Spanyol yang bernama Hernando Cortez – pun meniru bulat-bulat strategi Thariq tersebut di atas ketika ia memimpin ekspedisi penaklukan ke Mexico.

Hernando Cortez yang memimpin expedisi penaklukan bangsa Aztecs untuk merebut emas dan harta-harta lainnya ini membakar keseluruhan 11 kapal yang digunakan untuk membawa pasukannya mencapai daratan Mexico. Dengan demikian tidak ada pikiran untuk mundur, jalan hanya satu arah yaitu maju kedepan.

Kita tahu hasil dari kebulatan tekat Hernando Cortez ini, sampai sekarang bahasa resmi yang dipakai di Mexico adalah bahasa Spanyol. Ini menunjukkan betapa berhasilnya Hernando Cortez meniru strategi Thariq bin Ziyad dalam upayanya untuk menaklukkan Mexico yang menjadi jajahan Spanyol sampai beratus tahun kemudian.

Kalau seorang Hernando Cortez saja bisa belajar dan menikmati ke-sukses-an dari meniru strategi Panglima Perang Islam Thariq bin Ziyad, masa kita umat Islam di masa kini tidak bisa mencapai kesuksesan dengan belajar dari keberhasilan tokoh pejuang sekaliber Thariq ini?

Kalau medan kita bukan/belum medan perang saat ini, minimal strategi Thariq dengan membakar kapal ini bisa kita terapkan di tekad kita untuk membangun usaha, untuk meninggalkan tempat kerja yang kita ragukan ‘kebersihan’-nya misalnya.

Dari pengalaman saya berinteraksi dengan sekian banyak peserta Pesantren Wirausaha dan juga peserta yang ikut pelatihan CIED (Center for Islamic Entrepreneurship Development), penghalang terbesar dari setiap peserta yang ingin menjadi entrepreneur adalah keberaniannya untuk benar-benar terjun ke usaha – serta benar-benar meninggalkan pekerjaan sebelumnya.

Pengalaman saya sendiri-pun menunjukkan demikian; tidak kurang dari 6 kali usaha berwiraswasta yang saya lakukan di luar jam kantor – ketika saya masih aktif sebagai eksekutif ; tidak satupun yang berhasil. Yang ke-7, ke-8 dan seterusnya insya Allah berhasil karena kapal saya benar-benar saya bakar.

Untuk mencapai karir puncak di Industri Asuransi & Investasi di usia muda, tidak tanggung-tanggung saya peroleh gelar profesi yang paling tinggi di New Zealand, Australia dan Inggris. Sangat sedikit professional asuransi & investasi Indonesia yang mencapai pengakuan semacam ini. Namun sejak lahirnya fatwa MUI bahwa bunga bank haram awal 2004 (Fatwa No 1 Tahun 2004 Tentang Bunga), tidak ada lagi yang perlu diperdebatkan mengenai keharaman bunga bank dan produk-produk yang terkait dengannya di dunia finansial.

Maka alhamdulillah kapal yang namanya gelar professional dan puncak karir di industri finansial tersebut telah habis saya bakar 2 tahun lalu. Sejak saat itu, mirip yang dilakukan oleh Thariq dan juga Cortez, medan ‘pertempuran’ saya menjadi medan ‘pertempuran’ yang sama sekali baru. Tidak mudah, tetapi juga tidak mustahil – hanya pertolongan Allah-lah yang menjadikan yang sukar itu mudah.

Jadi bagi Anda yang ingin pindah quadrant dari pegawai/eksekutif ke pengusaha, bila Anda berani membakar kapal Anda, Insya Allah Andapun juga akan berhasil!!! Wa Allahu A’lam.

Selasa, 02 November 2010

Hidup itu indah

Dalam menghadapi kehidupan ini, kita sering merasa hidup begitu menekan dan sulit. Berbagai pekerjaan membuat kita melewatin hari demi hari dalam stres yang tak berkeputusan. Berbagai masalah membuat kita tak mampu lagi melihat hal-hal yang indah dan menarik dalam hidup. Bahkan kadangkala ada juga orang yang begitu putus asa sehingga mencoba mengakhiri hidupya sendiri. Kalaupun tidak seekstrim itu, banyak orang menjadi robot. Melewati hari demi hari dalam rutinitas. Tanpa gairah, tanpa semangat, tanpa harapan.

Dengan memiliki harapan manusia mempunyai alasan untuk tetap melanjutkan hidupnya. Harapan membuat manusia tidak pernah berhenti berjuang. Harapan membuat manusia merancangkan langkah-langkah yang tepat bagi kelangsungan hidupnya. Ini membuktikan bahwa hidup manusia itu berharga karena didalamnya terkandung nilai-nilai yang diperjuangkan untuk membuat manusia tetap hidup.

Hidup sangat berharga. Bahwa kita yang hidup tahu bahwa kita akan mati sementara orang mati tidak dapat berbuat apa-apa. Ini menunjukkan bahwa hidup menjadi berharga karna kita melakukan sesuatu; berbuat sesuatu seperti untuk menikmati segala hal dalam hidup ini dengan sukacita dan kita senatiasa hidup dalam kebenaran dan keadilan, dengan tetap menjaga hidup kerohanian kita.

Semua hal ini memberi penjelasan kepad kita, bahwa keindahan hidup tidak diukur dari panjang pendeknya umur, tidak juga diukur dari kaya miskinnya orang, tetapi dari bagaimana ia mengisi hidupnya.

Hidup menjadi berarti jika kita mengisinya dengan kerja dan usaha tentang hal-hal yang baik. Yang paling penting dari semua itu adalah meskipun hidup ini sia-sia, tetapi hidup ini adalah pemberian Tuhan. Maka selama kita hidup nikmatilah hidup kita dengan kerja, sukacita dan harapan. Hanya dengan demikian kita dapat menemukan keindahan hidup, pendek atau panjang umur kita. Kita dapat menikmati keindahan hidup, kaya atau miskin keadaan kita. Karena hidup adalah Anugerah.

Dengan memiliki harapan manusia mempunyai alasan untuk tetap melanjutkan hidupnya. Harapan membuat manusia tidak pernah berhenti berjuang. Harapan membuat manusia merancangkan langkah-langkah yang tepat bagi kelangsungan hidupnya. Ini membuktikan bahwa hidup manusia itu berharga karena di dalamnya terkandung nilai-nilai yang diperjuangkan untuk membuat manusia tetap hidup.