Selasa, 21 Juni 2011

Jangan Mencela Sahabat Rasulullah!!



عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ

Dari Abu Sa’id Al Khudriy Radhiyallahu’anhu beliau berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah bersabda: ‘Janganlah kalian mencela para sahabatku. Seandainya salah seorang dari kalian berinfaq emas seperti gunung uhud tidak akan menyamai satu mud (infaq) salah seorang dari mereka dan tidak pula setengahnya.

Takhrij Hadits
Hadits ini dikeluarkan oleh :
1. Imam Al Bukhari dalam Shahih-nya kitab Al Manaqib Bab Qauluhu Lau Itakhadztu Kholilaan no. 3397 dan lafadz lafadz Al Bukhari.
2. Imam Muslim dalam Shahih-nya kitab Fadhoil Al Sahabat Bab Tahrim Sabbi Al Sahabat no. 4610 dan 4611.
3. Imam Al Tirmidzi dalam Sunan-nya kitab Al Manaqib ‘An Al Nabi Bab Fiman Sabba Ashaabi Al Nabi no 3796
4. Imam Abu Daud dalam Sunan-nya Kitab Al Sunnah Bab Al Nahyu ‘An Sabb Ashabi Al nabi no. 4039
5. Imam Ibnu Majah dalam Sunan-nya kitab Muqaddimah bab Fadhlu Ahli Badr no. 157.
6. Imam Ahmad dalam Musnad-nya no. 10657, 11092 dan 11180.

Penjelasan Kosa Kata
(لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي) : jangan mencela sahabatku. Kata (أَصْحَابِي ) menurut etimoligi bahasa Arab diambil dari kata (صُحْبَة ) bermakna hidup bersama.[1] Abu Bakar Muhammad bin Al Thoyyib Al Baaqilaaniy (wafat tahun 463) berkata: “Ahli bahasa Arab sepakat bahwa perkataan ( صحابي) berasal dari kata (صُحْبَة ) dan bukan dari ukuran persahabatan yang khusus, bahkan ia berlaku untuk semua orang yang menemani seseorang, baik sebentar atau lama”. Kemudian ia menyatakan: “Hal ini menunjukkan secara bahasa hal ini berlaku kepada orang yang menemani Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam walaupun sesaat di siang hari. Ini asal dari penamaan ini”. [2] Sedangkan Imam Ahmad bin Hambal mendefinisikan sahabat dalam pernyataan beliau: “Setiap orang yang bersahabat dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam setahun atau sebulan atau sehari atau sesaaat atau hanya melihatnya maka ia termasuk sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam “.[3]
Namun definisi yang rajih adalah definisi Al Haafidz Ibnu Hajar Rahimahullah yaitu: “Sahabat adalah orang yang berjumpa dengan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam keadaan mukmin (beriman kepadanya) dan meninggal dalam keadaan Islam”.[4] Sehingga definisi ini mencakup orang yang berjumpa dengan beliau dan ber-mulazamah lama atau sebentar, orang yang meriwayatkan hadits dari beliau atau yang tidak, orang yang berperang bersama beliau atau tidak dan orang yang melihat beliau walaupun belum bermajelis dengannya dan orang yang tidak melihat beliau karena buta.
(فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ ) : Ucapan ini ditujukan kepada sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dengan dalil sebab adanya hadits ini adalah kisah yang disebutkan dalam hadits ini, yaitu perkataan Abu Sa’id :

كَانَ بَيْنَ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ وَبَيْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ شَيْءٌ فَسَبَّهُ خَالِدٌ

Antara Khalid bin Al Walid dan Abdurrahman bin ‘Auf terjadi perseteruan, lalu Khalid mencelanya[5].

Dengan demikian jelaslah kedudukan Khalid tidak sama dengan kedudukan Abdurrahman bin ‘Auf, karena Abdurrahman termasuk sahabat-sahabat yang masuk islam di awal dakwah Rasul sedangkan Khalid bin Walid masuk Islam belakangan setelah penaklukan kota Makkah.
Hal ini seperti firman Allah Ta’ala:


لاَيَسْتَوِى مِنكُم مَّنْ أَنفَقَ مِن قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ أُولاَئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِنَ الَّذِينَ أَنفَقُوا مِن بَعْدُ وَقَاتَلُوا وَكُلاًّ وَعَدَ اللهُ الْحُسْنَى وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبير

Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu.Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik.Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. Al Hadid 57:10

Namun orang yang setelahnya pun masuk dalam larangan ini
(أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا) : Berinfak emas sebesar gunung uhud.
(مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ ) : tidak dapat menyamai satu mud infak mereka dalam bentuk apapun. Satu Mud adalah ¼ sha’.
(وَلَا نَصِيفَهُ ) : An Nashief bermakna An Nisfu yaitu setengah mud
Penjelasan Makna Hadits
Hadits yang mulia ini menunjukkan larangan mencela sahabat dan kedudukan dan keutamaan para sahabat, sampai-sampai jika diantara kita berinfak emas sebesar gunung uhud tidak akan dapat menyamai infaknya mereka sebesar mud dan tidak pula setengahnya.

Faedah Hadits

Dari hadits ini dapat ambil beberapa faedah, diantaranya:

1. Larangan mencela sahabat.

Mencela sahabat sangat diharamkan dalam islam dengan dalil:
a. Itu merupakan ghibah dan menyakiti kaum mukmin yang dilarang, sebagaimana telah dijelaskan dalam firman Allah :


وَلاَيَغْتَب بَّعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ

Dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Al Hujurat:12

Dan firman Allah:

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَااكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا

Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. Al Ahzab:58

b. Allah telah meridhai para sahabat dan pencelaan terhadap para sahabat menunjukkan ke-tidak-ridha-an terhadap mereka, sehingga bertentangan dengan firman Allah :

لَّقَدْ رَضِىَ اللهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَافِي قُلُوبِهِمْ فَأَنزَلَ السَّكِينَة عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا

Sungguh Allah telah meridhoi kaum mukminin ketika mereka memba’iatmu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya). QS. Al Fath:18

c. Perintah beristighfar (memohonkan ampunan) bagi mereka, sebagaiman firman Allah:

وَالَّذِينَ جَآءُو مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِاْلإِيمَانِ وَلاَتَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa:’Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyanyang. Al Hasyr:10

‘Aisyah menafsirkan ayat ini dalam pernyataan beliau kepada keponakannya yang bernama Urwah bin Al Zubeir :

يَا ابْنَ أُخْتِي أُمِرُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِأَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَبُّوهُمْ

Wahai keponakanku mereka diperintahkan untuk memohon ampunan bagi para sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tetapi malahan mereka mencacinya.[6]

Imam Nawawi menjelaskan pernyataan ‘Aisyah ini: ‘Tampaknya, beliau menyatakan hal ini ketika penduduk Mesir mencela Utsman dan penduduk Syam mencela Ali sedangkan Al Haruriyah mencela keduanya. Adapun perintah memohon ampunan yang beliau isyaratkan, maka ia adalah firman Allah:

وَالَّذِينَ جَآءُو مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِاْلإِيمَانِ

Dan dengan ayat ini juga Imam Maalik berhujjah bahwa orang yang mencela sahabat tidak berhak mendapatkan harta Fa’i. Karena Allah hanya menjadikan harta tersebut kepada orang yang datang setelah sahabat yang memohon ampunan bagi mereka.[7]

d. Allah melaknat orang yang mencela para sahabat, sebagaimana dalam sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

مَنْ سَبَّ أَصْحَابِيْ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ

Barang siapa mencela sahabatku maka ia mendapat laknat Allah.[8]

e. Larangan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hadits Abu Sa’id diatas.
Bahkan ini sudah merupakan kesepakatan Ahlu Sunnah Wal Jamaa’ah sebagaimana dinyatakan Ibnu Hajar dalam pernyataan beliau dalam fathul Bari (13/34): “Ahlu Sunnah wal Jamaah telah bersepakat tentang kewajiban tidak mencela seorang pun dari para sahabat“.[9]

2. Bahaya mencela sahabat

Diantara bahaya yang timbul dari perbuatan mencela sahabat adalah

a. Mencela sahabat sebagai tanda kerendahan pelakunya dan merupakan satu kebid’ahan dalam agama. Hal ini dinyatakan oleh Abu Al Mudzaffar Al Sam’aaniy dalam pernyataannya: “Mencela sahabat merupakan tanda kerendahan pelakunya. Ia juga merupakan kebid’ahan dan kesesatan”.[10]
b. Mencela mereka berarti mencela saksi Al Qur’an dan Sunnah dan dapat membawa pelakunya menjadi zindiq. Hal ini diungkapkan imam Abu Zur’ah Al Raziy dalam pernyataan beliau:
“Jika kamu melihat seseorang melecehkan seorang sahabat nabi n maka ketahuilah ia seorang zindiq. Itu karena Rasululloh n menurut kita adalah benar dan Al Qur’an benar. Sedangkan yang menyampaikan Al Qur’an dan Sunnah nabi n kepada kita adalah para sahabat. Mereka hanya ingin mencela para saksi kita untuk menghancurkan Al Qur’an dan Sunnah. Celaan kepada mereka (para pencela) lebih pantas dan mereka adalah zindiq”.[11]

c. Mendapat hukuman pidana, minimal berupa ta’zir (Didera menurut kebijaksanaan pemerintah Islam).[12]

d. Mendapatkan laknat Allah Ta’ala ,sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

مَنْ سَبَّ أَصْحَابِيْ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ

Barang siapa mencela sahabatku maka ia mendapat laknat Allah.[13]

e. Mencela sahabat Rasulullah sama saja menuduh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tercela, karena memiliki sahabat yang berhak di cela, sebagaimana diungkapkan Imam Malik dalam pernyataannya: “Mereka kaum yang jelek ingin mencela Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam , namun tidak bisa. Lalu mereka mencela para sahabat beliau sampai dikatakan: ‘Orang jelek tentu memiliki sahabat yang jelek pula’ “.[14]

3. Hukum Orang Yang Mencela Sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
Orang yang mencela sahabat dapat kita bagi menjadi beberapa bagian:

1. Orang yang sekedar mencela sahabat. Maka masih perselisihkan hukumnya karena ia berada diantara melaknat karena marah dan karena I’tiqad.[15]

2. Orang yang mencela sahabat dengan keyakinan ‘Ali Radhiyallahu’anhu sebagai Tuhan atau Nabi, maka ia telah kafir. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Adapun orang yang mengiringi celaannya dengan keyakinan Ali sebagai tuhan atau ia seorang Nabi atau keyakinan Jibril salah dalam menyampaikan wahyu; maka ini tidak diragukan kekafirannya, bahkan tidak diragukan juga kekafiran orang yang tidak mengkafirkannya”.[16]

3. Orang yang mencela sahabat karena keyakinannya akan kekafiran sahabat, maka ia adalah kafir berdasarkan ijma’ dan dia dihukumi dengan hukum bunuh, karena ia telah mengingkari sesuatu yang secara pasti telah diakui dalam Agama, yaitu ijma’ umat Islam tentang keimanan para sahabat.[17] Syaikhul Islam berkata: “Adapun orang yang melewati hal itu (yaitu sekedar mencela (pen)) sampai menganggap para sahabat telah murtad setelah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kecuali sejumlah kecil tidak sampai belasan orang atau menganggap para sahabat seluruhnya fasiq; maka tidak diragukan lagi kekafirannya, karena ia telah mendustakan nash Al Qur’an yang banyak berisi keridhaan dan pujian kepada mereka. Bahkan orang yang ragu tentang kekafiran yang seperti ini maka kekafirannya itu pasti”.[18]

4. Orang yang mencela sahabat seluruhnya dengan keyakinan mereka seluruhnya fasiq maka ia kufur, sebagaimana disampaikan Ibnu Taimiyah diatas.

5. Orang yang mencela sahabat dengan keyakinan bahwa mencela mereka itu merupakan pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah. Sikap ini merupakan natijah (akibat) dari kebencian mereka terhadap sahabat, dan tentu ini adalah sebagai konsekuensi dari keyakinan mereka tentang kefasikan sahabat. Tentu hal itu adalah kufur dan keluar dari Islam.
Imam Ath Thahawi mengatakan: “Benci terhadap sahabat adalah kufur, nifak dan melampaui batas”.
Imam Malik mengatakan: “Barang siapa yang bangun pagi sedangkan di dalam hatinya ada kebencian terhadap salah seorang sahabat, berarti berlaku baginya ayat Al Qur’an, yakni firman Allah Ta’ala:

لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ

Karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu’min.(QS. Al Fath:29)”[19]

6. Orang mencela sahabat dengan celaan yang tidak merusak keadilan dan agama mereka, seperti menyatakan Abu Sufyaan bakhil atau Abu Hurairah sukanya makan dan sejenisnya; maka ia berhak di didik dan dihukum ta’zir. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Adapun orang yang mencela mereka (para sahabat) dengan celaan yang tidak merusak keadilan dan agama para sahabat- seperti mensifatkan sebagian mereka dengan bakhil atau penakut atau sedikit ilmu atau tidak memiliki sifat zuhud dan sejenisnya-. Maka orang inilah yang berhak mendapat pembinaan dan hukuman ta’zir dan kita tidak menghukumnya kafir hanya dengan hal ini saja”.[20]

Kesimpulannya disampaikan Ibnu Taimiyah dalam pernyataan beliau: “Kesimpulannya; ada diantara orang yang mencela sahabat yang sudah pasti kekufurannya dan ada yang tidak divonis kufur serta ada yang masih dibimbangkan kekufurannya”.

4. Hukum Mencela Istri-Istri Nabi.[21]

Adapun orang yang mencela istri-istri Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam; misalnya orang yang menuduh ‘Aisyah Radhiyallahu’anha dengan tuduhan keji yang sesungguhnya telah dibantah oleh Allah Ta’ala, maka ia telah kafir, lebih dari seorang ulama telah menyampaikan ijma’ ini. Sedangkan orang yang mencela selain beliau dari para istri Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam , maka terdapat dua pendapat ulama dalam hal ini:

a. Pendapat pertama, disamakan hukumnya sebagaimana mencela salah seorang sahabat.

b. Pendapat kedua, hukum menuduh seorang dari ummahat Al Mukminin (istri-istri Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam) sama dengan hukum menuduh ‘Aisyah Radhiyallahu’anha. – dan inilah yang benar-
Demikian, mudah-mudahan bermanfaat.
Penulis: Ustadz Khalid Syamhudi, Lc.
Artikel UstadzKholid.Com
________________________________________
[1] Al Qaamus Al Muhiith karya Al Fairuz Abadiy, cetakan kelima tahun 1416, Muassasah Al Risaalah, Beirut hal. 134
[2] Diambil dari kitab Al Kifaayah Fi Ilmi Riwayah karya Abu Bakar Ahmad bin Ali Al Khothib Al Baghdadiy, cetakan tahun 1409 H, Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Beirut hlm 51.
[3] Ibid
[4] Al Ishabah Fi Tamyiiz Al Shahabat karya Al Haafidz Ibnu Hajar, cetakan tanpa tahun, Dar Al Kutub Al Ilmiyah, hal. 1/4
[5] Disebutkan dalam riwayat Muslim.
[6] Muslim dalam Shahih-nya, Kitab Tafsir, no.5344.
[7] Syarah Shahih Muslim karya Imam Nawawi, Tahqiq Syaikh Khalil Ma’muun Syaikhoo, cetakan ketiga tahun 1417 H , Dar Al Ma’rifah, Beirut hal. 18/352-353
[8] Riwayat Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah no. 1001 hlm 2/469 dan dihasankan oleh Al Albani dalam Dzilalil Jannah fi Takhrij Al Sunnah 2/469. lihat kitab As Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim dengan Dzilal Al Jannah karya Muhammad Nashiruddin Al Albani, cetakan ketiga tahun 1413 H, Al Maktab Al Islamiy, Bairut.
[9] Dinukil dari kitab Min Aqwaal Al Munshifiin Fi Al Sahabat Al Kholifah Mu’awiyah, karya Syaikh Abdulmuhsin bin Hamd Al ‘Abaad, cetakan pertama tahun 1416 H, Markas Syu’un Al Dakwah, Al Jami’ah Al Islamiyah, Madinah, hal. 13.
[10] Ibid hal 12.
[11] Ibid
[12] Lihat Mukhtashor Al Sharim Al Mashlul ‘Ala Syatim Al Rasul karya Ibnu Taimiyah oleh Muhammad bin ‘Ali Al Ba’liy, Tahqiiq ‘Ali bin Muhammad Al Imraan, cetakan pertama tahun 1422 H, Dar ‘Aalam Al Fawaaid, Makkah, hal. 121
[13] Riwayat Ibnu Abi ‘Ashim dalam As Sunnah no. 1001 hal. 2/469 dan dihasankan oleh Al Albani dalam Dzilalil Jannah fi Takhrij As Sunnah 2/469. Lihat kitab As Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim dengan Dzilal Al Jannah karya Muhammad Nashiruddin Al Albani, cetakan ketiga tahun 1413 H, Al Maktab Al Islamiy, Bairut.
[14] Mukhtashor Al Sharim Al Mashlul ‘Ala Syatim Al Rasul op.cit hal 122.
[15] Ibid hal. 127
[16] Mukhtashor Al Sharim Al Mashlul ‘Ala Syatim Al Rasul karya Ibnu Taimiyah, Tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdulhamid , Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, Beirut hlm 586
[17] Lihat Majalah Al Sunnah edisi 12/1/1415-1995 hal. 23 menukil dari majalah Al Furqaan edisi 54 tahun IV Robi’ Al Akhir 1415 H/ Oktober 1994.
[18] Mukhtashor Al Sharim Al Mashlul ‘Ala Syatim Al Rasul op.cit hlm 586-587.
[19] Majalah As Sunnah edisi 12/I/1415-1995 hal 23-24.
[20] Al Sharim Al Masluul op.cit hlm 586.
[21] Masalah ini diterjemahkan dari Mukhtashar Al Sharim Al Maslul op.cit hal. 116.

Siapakah yg Bisa Melihat Allah di Akhirat?






Assalamu'alaikm ww.

Ustadz, benarkah kelak kita bisa melihat Allah? Dari mana dalilnya? Apakah semua penghuni surga kelak bisa melihat Allah SWT.

Wassalam,


Jawaban:

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Al-hamdulillah, wash-shalatu wassalamu 'ala rasulillah, wa ba'du

Allah SWT adalah tuhan yang Maha Sempurna, Dia tidak sama dengan apapun dan tidak bisa diserupakan dengan apapun. Di dalam Al-Qur'an Al-Kariem, Allah SWT telah menyebutkan tentang sifat diri-Nya.

Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia. (QS Al-Ihklas: 4)

...Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat. (QS As-Syura: 11)

Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui. (QS Al-An'am: 103)

Maka di dunia ini bila ada orang yang mengaku bisa melihat Allah, atau menggambarkan tentang Allah dengan menyerupakan-Nya dengan sesuatu, jelaslah orang tersebut telah kufur dan menyekutukan Allah SWT. Sebab semua dalil yang terdapat di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah telah memastikan bahwa Allah SWT tidak bisa disamakan dengan makhluq-Nya, termasuk tidak bisa dilihat dengan panca indera kita.

Bahkan Nabi Musa as yang terkenal dengan julukan kalamullah tidak diperkenankan untuk melihat diri-Nya.

Dan tatkala Musa datang untuk pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman kepadanya, berkatalah Musa, "Ya Tuhanku, nampakkanlah kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau." Tuhan berfirman, "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya niscaya kamu dapat melihat-Ku." Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu , dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman."(QS Al-A'raf: 143)

Namun sebaliknya, di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah telah dijelaskan bahwa hal itu akan berlaku sebaliknya di akhirat nanti. Di mana orang-orang mukmin yang masuk surga, akan mendapat kenikmatan yang banyak dan tidak tergambarkan selama kita masih di dunia ini. Dan diantara salah satu kenikmatan itu adalah bisa memandang Allah SWT.

Keterangan dan dalil tentang melihat Allah di hari akhir nanti disebutkan dalam tiga ayat di Al-Qur'an. Ketiga ayat itu adalah:

1. Ayat Pertama

Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (ziyadah). Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya. (QS Yunus: 26)

Para ulama dan mufassirin sepakat bahwa makna: (ziayadah/tambahan) maksudnya adalah melihat Allah dengan mata kepala.

2. Ayat Kedua

Sesungguhnya orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam keni‘matan yang besar (surga), mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang (Allah).(QS Al-Muthaffifien: 22-23)

Di ayat ini disebutkan bahwa penghuni surga akan mendapatkan kenikmatan besar dan salah satunya adalah memandang. Yakni dapat memandang Allah SWT dengan mata kepala mereka sendiri.

3. Ayat Ketiga

Wajah-wajah (orang-orang mu‘min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.(QS Al-Qiyamah: 22-23).

Ketiga ayat tersebut secara jelas memberitahukan bahwa orang mu‘min di hari akhir nanti akan melihat Allah dengan mata mereka sendiri. Sangat kecil celah untuk adanya penafsiran lain selain dari benarnya masalah tersebut. Kalau pun ada perbedaan, maka hanya bagaimana bentuk atau cara manusia melihat Allah.

Ini adalah bagian dari paham akidah Ahlussunnah wal jamaah yang telah disepakati oleh jumhur ulama kebenarannya. Dan yang dimaksud dengan melihat Allah SWT disini adalah melihat secara fisik, bukan bermakna kiasan seperti melihat dengan mata hati dan lain sebagainya. Hal yang memungkinkan itu adalah semua itu tidak terjadi di dunia ini, melainkan di akhirat nanti. Dan fasilitas kenikmatan itu hanya berlaku bagi mereka yang mukmin dan masuk surga.

Adapun orang kafir atau muslim yang masih harus disiksa di neraka karena dosa dan maksiat yang dilakukannya tidak diampuni, mereka tentu tidak akan mendapat kenikmatan memandang Allah SWT.

Wallahu a'lam bish-shawab,
Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Ahmad Sarwat, Lc.

Sumber : http://www.eramuslim.com/ks/us/59/20870,1,v.html

Minggu, 19 Juni 2011

Rabi'ah bin Ka'ab



Rabi'ah bin Ka'ab bercerita tentang riwayat hidupnya dalam Islam. Katanya, "Dalam usia muda jiwaku sudah cemerlang dengan cahaya iman. Hati kecilku sudah penuh berisi pengertian dan pemahaman tentang Islam. Pertama kali aku berjumpa dengan Rasulullah SAW, aku langsung jatuh cinta kepada beliau dengan seluruh jiwa ragaku. Aku sangat tertarik kepadanya, sehingga aku berpaling kepada beliau seorang dari yang lain.

Pada suatu hari hati kecilku berkata, "Hai Rabi'ah! Mengapa engkau tidak berusaha untuk berkhidmat menjadi pelayan kepada Rasulullah SAW? Cobalah usahakan. Jika beliau menyukaimu engkau pasti akan bahagia berada di samping beliau dalam mencintainya dan akan beroleh keuntungan di dunia dan akhirat."

Berkat desakan hati, aku segera mendatangi Rasulullah SAW dengan penuh harapan semoga beliau menerimaku untuk berkhidmat kepadanya. Ternyata harapanku tidak sia-sia. Beliau menyukai dan menerimaku menjadi pelayannya. Sejak hari itu aku senantiasa di samping beliau, selalu berada di bawah bayang-bayangnya. Aku ikut kemana beliau pergi dan selalu siap dalam lingkungan tempat beliau berada. Bila beliau mengedipkan mata ke arahku, aku segera berada di hadapannya. Bila beliau membutuhkan sesuatu, aku sudah siap sedia melayaninya.

Aku melayani beliau sepanjang hari sampai habis waktu Isya' yang terakhir. Ketika beliau pulang ke rumahnya hendak tidur, barulah aku berpisah dengannya. Tetapi, hatiku selalu berkata, "Hendak ke mana engkau hai Rabi'ah? Mungkin Rasulullah membutuhkanmu tengah malam." Karena itu aku duduk di muka pintu beliau dan tidak pergi jauh dari bendul rumahnya.

Tengah malam beliau bangun untuk shalat. Sering kali aku mendengar beliau membaca surat Al-Fatihah. Beliau senantiasa membacanya berulang-ulang sejak dari pertengahan malam ke atas. Setelah mataku mengantuk benar, barulah aku pergi tidur. Sering pula aku mendengar beliau membaca, "Sami'allaahu liman hamidah." Kadang-kadang beliau membacanya ulang dengan tempo yang lebih lama daripada jarak ulangan membaca Al-Fatihah.

Sudah menjadi kebiasaan Rasulullah SAW, jika seorang berbuat baik kepadanya, beliau lebih suka membalasnya dengan yang paling baik. Begitulah, beliau membalas pula pelayananku kepadanya dengan yang paling baik. Pada suatu hari beliau memanggilku seraya berkata, "Hai Rabi'ah bin Ka'ab!"

"Saya, ya Rasulullah!" jawabku sambil bersiap-siap menerima perintah beliau.

"Katakanlah permintaanmu kepadaku, nanti kupenuhi," kata beliau.

Aku diam seketika sambil berpikir. Sesudah itu aku berkata, "Ya Rasulallah, berilah aku sedikit waktu untuk memikirkan apa sebaiknya yang akan kuminta. Setelah itu akan kuberitahukan kepada Anda."

"Baiklah kalau begitu," jawab Rasulullah.

Aku seorang pemuda miskin, tidak berkeluarga, tidak punya harta dan tidak punya rumah tinggal di shuffatul masjid (emper masjid), bersama-sama dengan kawan senasib, yaitu orang-orang fakir kaum muslimin. Masyarakat menyebut kami "dhuyuful Islam" (tamu-tamu) Islam. Bila seorang muslim memberi sedekah kepada Rasulullah, sedekah itu diberikan beliau kepada kami seluruhnya. Bila ada yang memberikan hadiah kepada beliau, diambilnya sedikit dan lebihnya diberikan beliau kepada kami.

Nafsuku mendorong supaya aku meminta kekayaan dunia kepada beliau, agar aku terbebas dari kefakiran seperti orang-orang lain yang menjadi kaya, punya harta, istri, dan anak. Tetapi, hati kecilku berkata, "Celaka engkau, hai Rabi'ah bin Ka'ab! Dunia akan hilang lenyap dan rezkimu di dunia sudah dijamin Allah, pasti ada. Padahal, Rasulullah SAW yang berada dekat Rabnya, permintaannya tak pernah ditolak. Mintalah supaya beliau mendoakan kepada Allah kebajikan akhirat untukmu."

Hatiku mantap dan merasa lega dengan permintaan seperti itu. Kemudian aku datang kepada Rasulullah, lalu beliau bertanya, "Apa permintaanmu, wahai Rabi'ah?"

Jawabku, "Ya Rasulullah! aku memohon semoga Anda sudi mendoakan kepada Allah Taala agar aku teman Anda di surga."

Agak lama juga Rasulullah SAW terdiam. Sesudah itu barulah beliau berkata, "Apakah tidak ada lagi permintaamu yang lain?"

Jawabku, "Tidak, ya Rasulullah! rasanya tidak ada lagi permintaan yang melebihi permintaan tersebut bagiku."

"Kalau begitu bantulah saya dengan dirimu sendiri. Banyak-banyaklah kamu sujud," kata Rasulullah. Sejak itu aku bersungguh-sungguh beribadah, agar mendapatkan keuntungan menemani Rasulullah di surga, sebagaimana keuntunganku melayani beliau di dunia.

Selasa, 14 Juni 2011

Kisah Nabi Idris AS Melihat Surga dan Neraka


Setiap hari Malaikat Izrail dan Nabi Idris beribadah bersama. Suatu kali, sekali lagi Nabi Idris mengajukan permintaan. “Bisakah engkau membawa saya melihat surga dan neraka?”

“Wahai Nabi Allah, lagi-lagi permintaanmu aneh,” kata Izrail.

Setelah Malaikat Izrail memohon izin kepada Allah, dibawanya Nabi Idris ke tempat yang ingin dilihatnya.

“Ya Nabi Allah, mengapa ingin melihat neraka? Bahkan para Malaikat pun takut melihatnya,” kata Izrael.

“Terus terang, saya takut sekali kepada Azab Allah itu. Tapi mudah-mudahan, iman saya menjadi tebal setelah melihatnya,” Nabi Idris menjelaskan alasannya.

Waktu mereka sampai ke dekat neraka, Nabi Idris langsung pingsan. Penjaga neraka adalah Malaikat yang sangat menakutkan. Ia menyeret dan menyiksa manusia-manusia yang durhaka kepada Allah semasa hidupnya. Nabi Idris tidak sanggup menyaksikan berbagai siksaan yang mengerikan itu. Api neraka berkobar dahsyat, bunyinya bergemuruh menakutkan, tak ada pemandangan yang lebih mengerikan dibanding tempat ini.

Dengan tubuh lemas Nabi Idris meninggalkan tempat yang mengerikan itu. Kemudian Izrail membawa Nabi Idris ke surga. “Assalamu’alaikum…” kata Izrail kepada Malaikat Ridwan, Malaikat penjaga pintu surga yang sangat tampan.

Dengan ketampanannya siapapun akan senang memandangnya. Sikapnya amat sopan, dengan lemah lembut ia mempersilahkan para penghuni surga untuk memasuki tempat yang mulia itu.

Waktu melihat isi surga, Nabi Idris kembali nyaris pingsan karena terpesona. Semua yang ada di dalamnya begitu indah dan menakjubkan. Nabi Idris terpukau tanpa bisa berkata-kata melihat pemandangan sangat indah di depannya. “Subhanallah, Subhanallah, Subhanallah…” ucap Nabi Idris beulang-ulang.

Nabi Idris melihat sungai-sungai yang airnya bening seperti kaca. Di pinggir sungai terdapat pohon-pohon yang batangnya terbuat dari emas dan perak. Ada juga istana-istana pualam bagi penghuni surga. Pohon buah-buahan ada disetiap penjuru. Buahnya segar, ranum dan harum.

Waktu berkeliling di sana, Nabi Idris diiringi pelayan surga. Mereka adalah para bidadari yang cantik jelita dan anak-anak muda yang amat tampan wajahnya. Mereka bertingkah laku dan berbicara dengan sopan.

Mendadak Nabi Idris ingin minum air sungai surga. “Bolehkah saya meminumnya? Airnya kelihatan sejuk dan segar sekali.”

“Silahkan minum, inilah minuman untuk penghuni surga.” Jawab Izrail. Pelayan surga datang membawakan gelas minuman berupa piala yang terbuat dari emas dan perak. Nabi Idris pun minum air itu dengan nikmat. Dia amat bersyukur bisa menikmati air minum yang begitu segar dan luar biasa enak. Tak pernah terbayangkan olehnya ada minuman selezat itu. “Alhamdulillah, Alhamdulillah, Alhamdulillah,” Nabi Idris mengucap syukur berulang-ulang.

Setelah puas melihat surga, tibalah waktunya pergi bagi Nabi Idris untuk kembali ke bumi. Tapi ia tidak mau kembali ke bumi. Hatinya sudah terpikat keindahan dan kenikmatan surga Allah.

“Saya tidak mau keluar dari surga ini, saya ingin beribadah kepada Allah sampai hari kiamat nanti,” kata Nabi Idris.

“Tuan boleh tinggal di sini setelah kiamat nanti, setelah semua amal ibadah di hisab oleh Allah, baru tuan bisa menghuni surga bersama para Nabi dan orang yang beriman lainnya,” kata Izrail.

“Tapi Allah itu Maha Pengasih, terutama kepada Nabi-Nya. Akhirnya Allah mengkaruniakan sebuah tempat yang mulia di langit, dan Nabi Idris menjadi satu-satunya Nabi yang menghuni surga tanpa mengalami kematian. Waktu diangkat ke tempat itu, Nabi Idris berusia 82 tahun.

Firman Allah:

“Dan ceritakanlah Idris di dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya ia adalah orang yang sangat membenarkan dan seorang Nabi, dan kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi.” (QS Al-Anbiya:85-86).


Pada saat Nabi Muhammad sedang melakukan perjalanan Isra’ Mi’raj ke langit, beliau bertemu Nabi Idris. “Siapa orang ini? Tanya Nabi Muhammad kepada Jibril yang mendampinginya waktu itu.

“Inilah Idris,” jawab Jibril. Nabi Muhammad mendapat penjelasan Allah tentang Idris dalam Al-Qur’an Surat Al-Anbiya ayat 85 dan 86, serta Surat Maryam ayat 56 dan 57.

Ghaib

Masalah ghaib adalah masalah yang banyak dipenasari oleh orang, sebenarnya percaya kepada ghaib adalah salah satu rukun dari rukun iman, hanya saja kebanyakan orang memandang ghaib dari sudut kepentingan dirinya sendiri, bukan makna dari keberadaannya, sehingga banyaklah yang terseret kepada kemusryikan.


Didalam rukun iman, iman kepada yang ghaib sebenarnya hanyalah pemberitahuan kepada kita bahwa yang tidak terlihat itu tidaklah berarti tidak ada, oleh karena itu maka diadakanlah makhluk ghaib yang tidaklah sempurna keghaibannya, sehingga kadang-kadang bocor menjadi terlihat atau terdengar, kebocoran itulah yang sebenarnya dapat menjadi pelajaran yang penting, sebab dengan bocornya keghaiban makhluk tersebut kita jadi mengerti atau mengetahui bahwa ada sesuatu yang tidak terlihat oleh mata kita kecuali sekali-kali saja kalau terjadi kebocoran keghaibannya yang tidak sempurna itu, dengan mengetahui sesuatu yang tidak terlihat tetapi ada tersebutlah kita sedikitnya dapat menghayati keberadaan Allah yang Maha Ghaib, yang sangat sempurna keghaibannya, yang tidak akan pernah bocor dan terlihat oleh kita, kecuali kalau Allah sendiri yang berkehendak, atau kalau kita dapat sampai ke sisinya pada saatnya nanti.

Jadi sebenarnya guna keghaiban di dunia ini hanyalah agar kita dapat sedikit memahami ataupun menghayati keberadaan Allah yang Maha Ghaib, oleh karena itu janganlah kita menyalah gunakan keghaiban itu menjadi sesuatu yang kita anggap hebat atau luar biasa, karena sudah jelas bahwa dari semua makhluk ciptaan Allah, hanya manusialah yang paling mulia, karena manusia diciptakan dengan segala kelebihan serta kekurangannya, yang tidak dimiliki oleh makhluk lain, manusia dapat menggabungkan baik dan buruk menjadi jalan tengah, tidak seperti makhluk lain yang hanya baik saja, yang hanya buruk saja, yang memilih yang baik saja ataupun yang hanya memilih yang buruk saja, yang memilih salah satu saja itulah yang membuatnya jadi berlebih-lebihan, tidak bisa mengambil yang sedang-sedang saja, sebab hanya dengan menimbang antara baik dan buruklah yang akan membuat kita menjadi bijaksana.

Sebenarnya manusia itu adalah makhluk yang paling mudah berprasangka, sehingga sulit untuk mempercayai orang lain, tapi sungguh sangat mengherankan banyak sekali orang percaya kepada makhluk yang mereka tidak dapat melihatnya, sehingga mau menuruti atau taat kepada anjuran-anjuran makhluk tersebut, sedangkan kepada sesama manusia yang jelas-jelas dapat dilihatnya sulit sekali untuk percaya, malah percaya kepada makhluk yang rupa aslinya sama sekali belum diketahui, kecuali rupa tiruannya yang namanya juga tiruan ya tentu saja palsu, tetapi tetap saja, bahkan melihat kepalsuannya tersebut malah makin percaya karena merasa dapat melihat serta berkomunikasi dengan makhluk yang biasanya tidak dapat dilihat, mungkin juga karena merasa makhluk ghaib itu dapat melakukan keajaiban-keajaiban yang sebenarnya bagaimana mereka lakukan yang menurut mereka ajaib itu di belakang layarnya mungkin saja hanya tipuan seperti sulapan, misalnya kita minta emas kepada mereka, tahu-tahu emas tersebut tersedia didepan kita, tentu saja kita merasa itu suatu keajaiban, padahal sebenarnya emas itu mereka ambil dari lemari tetangga atau darimana saja maunya mereka, toh kita tidak akan tahu sebab mereka lakukan semua itu dibelakang layar ghaib yang kita tidak bisa lihat, karena tidaklah mungkin mereka menciptakan emas, mereka sama saja dengan kita tidak bisa menciptakan apa-apa, hanya Allah yang Maha Pencipta sajalah yang dapat mencipta segala sesuatu, bahkan makhluk yang bila terlihat selalu menyamar tersebut dapat menyamarkan kotoran menjadi emas dimata kita.

Sangat berbeda segala-sesuatunya antara makhluk ghaib dengan Allah yang Maha Ghaib, walaupun Allah Maha Ghaib sehingga tidak dapat terlihat oleh mata kita samasekali, namun kita dapat melihat keberadaanya dari segala ciptaanNya serta dari segala pemberiannya kepada kita, bila memang kita mau merenungkannya serta berusaha menghayatinya.

Makhluk ghaib yang selalu muncul dengan bentuk tiruan tersebut seharusnya membuat kita berfikir beribu-ribu kali untuk berhubungan dengan mereka, sebab bentuk yang mereka tiru tersebut terutama kalau manusia tentunya belum tentu atau bahkan kemungkinan besar belumlah dimintakan idzinnya untuk ditiru atau dipergunakan rupanya untuk keperluan mereka, apakah kita senang jika ada orang lain mengaku-ngaku kita kepada orang lain, apalagi kalau dipakai berbuat keburukan, misalnya menipu, memperdayai, tentu saja kita akan marah, makhluk tersebut tentu saja tidak dapat mencipta rupa baru, dan sudah pasti meniru rupa seseorang yang tentu saja orang tersebut akan merasa difitnah oleh penyaru tersebut, oleh karenanya tentu saja seharusnya kita berkeberatan bila harus berhubungan dengan siapapun yang memfitnah orang lain, apalagi kalau mereka meniru rupa sebagian manusia sebagian lagi rupa yang buruk-buruk ataupun binatang, tentu saja perbuatan tersebut adalah perbuatan fitnah terhadap seluruh manusia.

Banyak orang tergiur oleh janji-janji dari makhluk ghaib, padahal bagaimana kita dapat mempercayai janji dari makhluk yang rupa serta penampilannya saja sudah palsu, tentu saja janjinyapun kurang lebih ya janji palsu bahkan menurut rujukannya bahwa mereka biasa memberikan ramalan yang benar satu dengan seribu yang bohongnya, namun banyak saja orang yang rela menerima seribu kebohongan demi benar yang hanya satu, sungguh sangat merugilah orang tersebut, sebab sudah rugi seribu kibul ditambah lagi satu yang benar dengan hukuman mempercayai ramalan adalah kehilangan setengah imannya, apalagi kalau mempercayai seribu kibulannya itu, barangkali sudah minus imannya, lagipula apa baiknya ramalan itu, sebab semua orang inginnya mendengar ramalan yang bagus-bagus saja, tidak ada yang mau diramal kapan akan mati.

Oleh karena itu alangkah baiknya kalau kita membatasi hal-hal yang ghaib tersebut hanya pada penghayatan kepada Allah yang Maha Ghaib, serta kepada keghaiban akhirat beserta isinya saja.