Jumat, 02 Juli 2010

Menetapi Al-Jamaah Sebagai Sarana Mewujudkan Rahmat

  • , (Author: Drs. Yakhsyallah Mansur, MA.)
  • “Dan tidaklah Kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya:107).

    Ketika menafsirkan ayat ini Ibnu Katsir di dalam tafsir “Al-Qur’an Al-Adzim” menukilkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah, berkata: “Dikatakan, wahai Rasulullah, berdo’alah untuk (kesengsaraan) orang-orang musyrik”. Beliau menjawab,” Sesungguhnya aku diutus bukan sebagai pelaknat, aku diutus hanyalah sebagai pembawa rahmat”.

    Sayid Quthb dalam tafsirnya “Fi Dzilalil Al-Qur’an” menulis: “Allah telah mengutus Rasul-Nya sebagai rahmat bagi manusia seluruhnya untuk membimbing mereka kepada petunjuk-Nya dan tidak mendapat petunjuk kecuali orang yang bersedia menerimanya meskipun rahmat tersebut dapat dirasakan oleh orang yang beriman dan tidak beriman. Sesunggunhnya sistem yang dibawa oleh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sistem yang akan membahagiakan manusia seluruhnya dan menuntun mereka menuju kesempurnaan yang telah ditentukan dalam kehidupan ini.

    Ayat di atas merupakan petunjuk qoth’ie (pasti) tentang universalisme Islam dalam arti agama Islam itu diturunkan oleh Allah untuk ummat manusia di seluruh dunia sepanjang masa. Apabila syari’at Islam dilaksanakan maka akan terwujudlah rahmat secara universal baik bagi umat Islam sendiri maupun bagi umat yang lain.

    Pada millenium kedua menurut hitungan kalender masehi yang baru saja berlalu dan di awal era globalisasi (berasal dari kata globe yang berarti dunia mini) ini, di samping kita meyaksikan kemajuan pesat dalam berbagai bidang khususnya bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi kita juga menyaksikan berbagai macam krisis yang melanda umat manusia. Peter L. Berger melukiskan manusia saat ini sedang mengalami “ANOMIE” yaitu sesuatu keadaan di mana setiap individu manusia kehilangan ikatan yang memberikan perasaan aman dan kemantapan dengan sesama manusia lainnya sehingga menyebabkan kehilangan pengertian yang memberikan petunjuk tentang dan arti kehidupan di dunia ini sehingga kegelisahan hidup timbul di mana-mana.

    Abu Al-Wafa’ Al-Taftadzani mengklasifikasikan sebab-sebab kegelisaan masyarakat modern sebagai berikut :
    1. Gelisah karena takut kehilangan apa yang dimiliki, seperti jabatan, pekerjaan, harta dan sebagainya. 2. Gelisah lantaran takut terhadap masa depan yang tidak disukai dan diinginkan. 3. Gelisah yang disebabkan olrh rasa kecewa terhadap hasil kerja yang tidak mampu memenuhi harapan dan kepuasan spiritual. 4. Kegelisaan yang disebabkan karena dirinya banyak melakukan pelanggaran dan dosa.

    Disamping krisis psikologis (kejiwaan) seperti di atas pada mellinium kedua yang lalu, manusia telah merasakan prahara yang sangat mengerikan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya yaitu terjadinya Perang Dunia I (1914-1918) dan Perang Dunia II (1939-1945) yang berdampak buruk bagi umat manusia dalam berbagai bidang kehidupan hingga saat ini. Di bidang politik berdampak munculnya dua negara super power Amerika Serikat dan Uni Soviet (sekarang tinggal Amerika Serikat), timbulnya perang dingin antara negara-negara blok komunis di belakang Uni Soviet dan blok kafitalis di belakang Amerika Serikat, tampilnya negara baru di Asia, Afrika dan Eropa yang terus-menerus berperang sampai sekarang.

    Dampak di bidang ekonomi berupa kehancuran total perekonomian dunia akibat sistem perbankkan dan munculnya negara-negara kaya karena mengekploitasi negara-negara yang kalah perang sehingga negara-negara ini menjadi miskin dan terbelakang walaupun kaya dengan sumber-sumber alam. Dampak paling ironis dari Perang Dunia II adalah berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertujuan mewujudkan perdamaian dunia tetapi realitanya justru banyak menciptakan persengketaan dunia dan digunakan oleh sebagian anggotanya yang memiliki hak veto terutama Amerika untuk menjadi polisi dunia dan melegalisasikan kebrutalannya terhadap negara-negara yang dianggap menghambat kepentingannya seperti Irak, Iran dan Sudan yang berpendudukan mayoritas muslim.

    Akibat Kaum Muslimin tidak Bersatu
    Terjadinya berbagai macam krisis dunia seperti di atas adalah akibat tidak adanya persatuan di kalangan kaum muslimin. Allah Ta’ala berfirman: “Dan orang-orang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu tidak melakukan apa yanng diperintahkan Allah itu (keharusan saling melindungi antara kaum muslmin) pasti akan terjadi kehancuran di muka bumi dan kerusakan yang besar. (QS. Al-Anfal:73)

    Pada ayat ini Allah memberitahukan kepada kaum muslimin bahwa orang kafir saling membantu dalam menghadapi kaum muslimin. Hal ini terus dilakukan sejak jaman dahulu sampai sekarang. Apabila kita buka lembaran sejarah Islam kita akan melihat bagaimana kafirin Makkah bersatu padu dengan orang-orang kafir Arab Ghathafan dan bersatu pula dengan Yahudi Bani Quraidzoh mengeroyok kaum muslimin pada Perang Ahzab di bulan Syawal tahun 5 H. Begitu pula pada Perang Salib dahulu, Paus Paulus VI memutuskan memberi ampun orang Yahudi, musuh bebuyutan mereka. Yang menuduh Nabi Isa Alaihissalam yang mereka akui sebagai Tuhan sebagai anak zina. Gereja memberi ampunan dosa kepada orang Yahudi supaya dapat bersatu memerangi Islam dan merebut Palestina dari kaum muslimin. Demikian juga pada kasus-kasus yang terjadi akhir-akhir ini seperti serangan pasukan Sekutu atas Iraq, pembersihan etnis muslim Bosnia di Perang Balkan sampai jajak pendapat di Timor Timur yang baru lalu serta konflik Ambon yang sampai ini masih berlangsung semuanya menunjukan betapa kokohnya persatuan orang-orang kafir dalam menghadapi umat Islam.

    Di tengah-tengah kokohnya persatuan orang-orang kafir untuk menggencet kaum muslimin ini, justru kaum muslimin berpecah-belah dan sebagian besar dilanda penyakit ananiyah (individualisme) sehingga mereka senantiasa mengalami kekalahan. Karena kekalahan kaum muslimin inilah akhirnya timbul berbagai macam krisis sebagaimana disebutkan di atas.

    Oleh karena itu untuk mengatasi berbagai macam krisis tersebut muslimin harus mampu menghadapi kekuatan kafirin dan kemampuan ini hanya akan terwujud apabila muslimin bersatu dan tidak berpecah belah. Untuk mewujudkan kesatuan kaum muslimin, Allah memerintahkan kaum muslimin untuk berjama’ah sebagaimana firman-Nya : “Dan berpegang teguhlah kamu semua dengan tali Allah seraya berjama’ah dan janganlah berpecah belah. (QS. Ali-Imran:103) Ketika menafsirkan ayat ini Ibnu Katsir berkata : “Allah memerintahkan kaum muslimin supaya berjama’ah dan melarang mereka berpecah belah.”

    Berjama’ah ini pulalah yang diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hudzaifah bin Yaman ketika meminta petunjuk kepada beliau apakah yang harus dilakukan ketika menghadapi berbagai macam krisis di kalangan kaum muslimin. Beliau memberi petunjuk dengan sabdanya: “Tetaplah kamu dalam Jama’ah Muslimin dan Imaam mereka”. (H.R. Bukhari, Shahih Al-Bukhari:IX/65. Muslim, Shohih Muslim:II/134-135. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah:II/475. Lafadz Bukhari)

    Hadits ini disamping memerintahkan berjama’ah juga memberi petunjuk bahwa dalam berjama’ah harus ada Imaam, tanpa Imaam tidak mungkin akan ada Al-Jama’ah.Keberadaan Imaam dalam mewujudkan kesatuan kaum muslimin adalah faktor yang paling utama dan keberadaanya di tengah-tengah kaum muslimin adalah merupakan suatu kewajiban. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

    “Tidak halal bagi tiga orang di mana saja dipermukaan bumi ini kecuali mengangkat salah seorang di antara mereka sebagai pemimpin". (H.R. Ahmad dari Abdullah bin Amr)

    Berkenaan dengan wajibnya mengangkat Imaam ini Imaam Al-Ghozali berkata: “Dunia dan keamanan jiwa dan harta tidak tercapai kecuali dengan adanya Imaam yang ditaati. Oleh karenanya orang mengatakan, “Agama dan Imaam adalah saudara kembar”.Dan karenanya pula orang orang mengatakan,”Agama adalah sendi dan Imaam adalah pengawal. Sesuatu yang tidak ada sendi akan hancur dan sesuatu yang tidak ada pengawal akan sia-sia”.

    Melihat pentingnya keberadaan Imaam ini maka yang pertama kali dilakukan oleh para sahabat setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal adalah mencari pengganti beliau untuk memimpin kaum muslimin. Akhirnya terpilihlah Abu Bakar sebagai pengganti beliau. Setelah Abu Bakar meninggal beliau digantikan oleh Umar bin Khattab, kemudian Umar digantikan oleh Utsman bin Affan, kemudian Utsman digantikan oleh Ali bin Abi Thalib

    Keempat sahabat ini telah memimpin umat Islam sesuai dengan apa yang telah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh karena itu masa kepemimpinan mereka ini disebut sebagaimana KHILAFAH ‘ALAMINHAJIN NUBUWWAH (Khilafah yang mengikuti jejak kenabian) dan kehidupan masyarakat muslim di bawah seorang Imaam ini disebut Al-Jama’ah.

    Dengan Al-Jama’ah inilah rahmat Islam akan dapat dirasakan oleh seluruh umat manusia, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
    “Berjama’ah adalah rahmat dan berpecah belah adalah azab”. (H.R. Ahmad dari Nu’man bin Basyir, Musnad Ahmad:IV/278. Silsilah Ahadits shohihah No.667)

    Dengan Al-Jama’ah inilah Islam tampil dengan wajah penuh rahmat yang mengayomi seluruh umat manusia selama mereka tidak mengganggu umat Islam dalam melaksanakan Syari’at agamanya. Ibnu Ishak memceritakan bahwa ketika delegasi kristen dari Najran yang hendak menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah hendak bersembayang dan mereka tidak mendapati satupun gereja di kota itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersilakan mereka sembayang di masjid hingga selesai. Setelah Abu Bakar dibai’at sebagai khalifah, maka salah satu intruksi harian yang beliau sampaikan kepada pemimpin pasukan yang akan berangkat ke Syam, Yazid bin Abu Sofyan adalah agar orang-orang yang tekun beribadah di dalam biara-biara tidak diganggu. Ketika Yerusalem takluk tahun 637 M dan Khalifah Umar memasuki gereja makam suci Sofronius patriakh gereja ortodoks, mempersilakan Umar shalat di dalam gereja tersebut tetapi Umar menolak seraya berkata,” Jika saya shalat di sini, maka pengikut-pengikut saya akan menganggap hal itu sebagai alasan untuk mengambil tempat ini dari tangan orang-orang kristen”. Penghormatan kaum muslimin terhadap seluruh umat manusia tanpa memandang agama inilah yang menyebabkan ke manapun perginya, pasukan Islam disambut sebagai tentara pembebas dan memperlakukan manusia lain yang tidak memusuhinya dengan penuh rahmat, kebesaran hati dan penuh kebaikan.

    Namun apabila mereka memusuhi kaum muslimin maka kaum muslimin wajib membela diri dengan syarat tidak berlebih-lebihan. Firman Allah :
    “Maka barang siapa menyerang kamu, maka seranglah dia seimbang dengan serangannya terhadapmu dan bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah sesungguhnya Allah bersama orang yang bertaqwa”. (Q.S. Al-Baqarah : 194)

    Demikian sebagian gambaran rahmat Islam yang telah diwujudkan oleh kaum muslim di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan masa Khulafa Al-Rasyidin al-Mahdiyyin. Oleh karena itu menetapi Al-Jama’ah dan menegakkan kembali Sistem Khilafah adalah suatu kaharusan apabila umat Islam berkeinginan mewujudkan rahmat Islam diseluruh permukaan bumi ini.

    Berdasarkan Nubuwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sekarang inilah - setelah runtuhnya Mulkan Utsmaniyyah di Turki waktunya - seluruh kaum Muslimin kembali kepada sistem Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwah, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ”Adalah masa kenabian ada di tengah-tengah kamu, adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya ketika menghendakinya. Kemudian adalah masa Khilafah yang mengikuti jejak kenabian, adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya ketika menghendakinya. Kemudian adalah masa kerajaan yang menggigit, adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya ketika menghendakinya. Kemudian adalah masa kerajaan yaang menyombong, adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya ketika menghendakinya. Kemudian adalah masa khilafah yang mengikuti jejak kenabiaan, kemudian beliau diamI". ( H.R. Ahmad dari Nu’man bin Basyir, Musnad Ahmad:IV/273. Al-Baihaqi, Miskatul Mashobih hal.461. Lafadz Ahmad).

    Setelah runtuhnya Dinasti Utsmaniyah kaum musluimin berusaha mengembalikan sistem khilafah seperti yang pernah ada dengan berbagai upaya antara lain dengan menyelenggarakan berbagai kongres seperti kongres Khilafah di Kairo tahun 1926, Kongres Muslim Dunia di Makkah tahun 1926, Kongres Islam Internasional II di Karaci. Namun usaha ini selalu mengalami kegagalan disebabkan khilafah dianggap masalah politik bukan semata-mata masalah dien (agama).

    Setelah masalah Khilafah didudukan kepada proporsi yang sebenarnya dimana Khilafah semata-mata dipandang sebagai masalah agama, bersih dari unsur politik (non politik); dengan taqdir Allah khilafah berhasil dikembalikan ditengah-tengah kaum muslimin dengan dibaiatnya Wali Al-Fattaah sebagai Imaamul Muslimin pada tanggal 10 Dzulhijjah 1372 H/ 20 Agustus 1953 M. Bersamaan dengan pembaiatan ini ditetapkan pula langkah-langkah strategis kaum muslim dalam menghadapi gejolak dunia sebagai berikut :

    1. Pandangan, pendirian dan sikap hidup muslim : Yakni bahwa berpegang teguh dan saat melaksanakan pedoman Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah sumber segala kejayaan dan kebahagian. 2. Ukhuwah Islamiyyah : Kesatuan bulat bagi seluruh Muslimin yang tidak dapat dibagi-bagi, dipisah-pisah apalagi diadu domba, baik dalam kemudahanan atau dalam kesukaran dan dalam perjuangan. 3. Kemasyarakatan : Berpihak kepada yang dhaif (lemah, tertindas, dan teraniaya). 4. Sikap terhadap lain golongan : Tegak berdiri dalam lingkungan kaum muslimin, di tengah antar golongan, menyeru kepada kebaikan menyuruh kepada kebajikan dan mencegah kemungkaran. 5. Antara bangsa-bangsa : Menolak fitnah penjajahan dan kedzaliman suatu bangsa atas bangsa lain dan mengusahakan ta’ruf antara bangsa-bangsa.

    Setelah Imaam Wali Al-Fattaah wafat pada hari Jum’at, 27 Dzulqo’dah 1396 H/19 November 1976 M, dibaiatlah Muhyiddin Hamidy menggantikan beliau sebagai Imaamul muslimin hingga sekarang ini. -- Wallahu a’lam bishawwab. - ap

  • Tidak ada komentar:

    Posting Komentar