Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
Penulis masih ingat betul, tatkala Majalah tercinta ini ( al-Furqon ) edisi 12/Th. III pernah mencantumkan artikel berjudul “Nikah Sirri Antara Hukum Syar’i dan Undang-Undang Negara” oleh akhuna al-Ustadz Ahmad Sabiq Abu Yusuf. Ternyata tanpa terduga, banyak komplain dan suara miring saat itu yang masuk ke meja redaksi, ada yang mempertanyakan kepada kami dengan baik, namun ada juga yang bernada emosi, sehingga sebagian mereka berlebihan tatkala berkomentar:
“Penulis telah membuat suatu bid’ah baru dalam agama”!!! “Tidak ada ulama yang berpendapat seperti itu”!!! dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, kami memandang perlu kiranya penjelasan tambahan tentang masalah penting ini agar tidak terjadi kesalahpahaman dan fitnah di antara kita semua. Kami berdoa kepada Allah agar memberikan taufiq kepada penulis untuk menulis kebenaran. Apabila tulisan ini memang benar, maka itu hanyalah taufiq Allah semata. Sebaliknya, apabila ada kesalahan, maka itu datangnya dari Syetan dan kelemahan hamba yang lemah ini. Kami terbuka untuk menerima nasehat dan kritikan yang membangun dari semuanya, tentunya dengan cara dan adab Islami yang indah. Wallahul Muwaffiq.
Definisi Nikah ‘Urfi
Masalah yang sedang kita bahas ini dalam istilah fiqih kontemporer dikenal dengan istilah Zawaj ‘Urfi yaitu
suatu pernikahan yang memenuhi syarat-syarat pernikahan tetapi tidak dicatat secara resmi oleh pegawai pemerintah yang menangani pernikahan (baca: KUA).[1]
Disebut dengan nikah ‘urfi (adat) karena pernikahan ini merupakan adat dan kebiasaan yang berjalan dalam masyarakat muslim sejak masa Nabi dan para sahabat yang mulia, di mana mereka tidak perlu untuk mencatat akad pernikahan mereka tanpa ada permasalahan dalam hati mereka.[2]
Dari definisi di atas, dapat kita fahami bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan yang menonjol antara pernikahan syar’i dengan pernikahan ‘urfi, perbedaannya hanyalah antara resmi dan tidak resmi, karena pernikahan ‘urfi adalah sah dalam pandangan syar’i disebabkan terpenuhinya semua persyaratan nikah seperti adanya wali dan saksi, hanya saja belum dianggap resmi oleh pemerintah karena belum tercatat oleh pegawai KUA setempat sehingga mudah untuk digugat.
DR. Abdul Fattah Amr berkata: “Nikah ‘urfi mudah untuk dipalsu dan digugat, berbeda dengan pernikahan resmi yang sulit untuk digugat”.[3]
Faktor-Faktor Pendorong Nikah ‘Urfi
Ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang untuk memilih pernikahan tanpa dicatat di KUA. Di antaranya adalah:
1. Faktor Sosial:
a. Problem Poligami
Syari’at Islam membolehkan bagi seorang laki-laki yang mampu untuk menikah lebih dari satu istri. Sebagian kaum lelaki ingin mempraktekkan hal ini, namun ada hambatan sosial yang menghalanginya, sebab poligami dipandang negatif oleh masyarakatnya atau undang-undang Negara yang mempersulit poligami atau bahkan melarangnya. Nah, tatkala ada seorang yang ingin berpoligami dan dalam waktu yang sama dia ingin menjaga keutuhan keluargannya, di situlah dia memilih jalan pernikahan model ini.
b. Undang-Undang Usia
Dalam suatu Negara, biasanya ada undang-undang tentang usia layak menikah. Di saat ada seorang pemuda atau pemudi yang sudah siap menikah tetapi belum terpenuhi usia dalam undang-undang, maka diapun akhirnya memilih jalan ini.
3. Tempat Tinggal Yang Tidak Menetap
Sebagian orang tidak menetap tempat tinggalnya karena terikat dengan pekerjaan yang digelutinya. Terkadang dia harus tinggal beberapa waktu yang cukup lama sedangkan istrinya tidak bisa menemaninya di sana. Dari situlah dia memilih pernikahan model ini guna menjaga kehormatannya.
2. Faktor Harta
Dalam sebagian suku atau Negara masih mengakar adat jual mahal maskawin alias mahar sehingga menjadi medan kebanggaan bagi mereka. Nah, tatkala ada pasangan suami istri yang ridho dengan mahar yang relatif murah, mereka menempuh pernikahan model ini karena khawatir diejek oleh masyarakatnya.
3. Faktor agama
Termasuk faktor juga adalah lemahnya iman, dimana sebagian orang lebih menempuh jalan ini untuk memenuhi hasratnya bersama kekasihnya dan tidak ingin terikat dalam suatu pernikahan resmi.[4]
Sejarah Pencatatan Akad Nikah
Kaum muslimin pada zaman dahulu mencukupkan diri untuk melangsungkan nikah dengan lafadz dan saksi, tanpa memandang perlu untuk dicatat dalam catatan resmi. Namun, dengan berkembangnya kehidupan dan berubahnya keadaan, di mana dimungkinkan para saksi untuk lupa, lalai, meninggal dunia dan sebagainya, maka diperlukan adanya pencatatan akad nikah secara tertulis.[5]
Awal pencatatan akad nikah adalah ketika kaum muslimin mulai mengakhirkan mahar atau sebagian mahar, lalu catatan pengakhiran mahar tersebut dijadikan sebagai bukti pernikahan.
Syaikhul Islam mengatakan: “Para sahabat tidak menulis mahar karena mereka tidak mengakhirkannya, bahkan memberikannya secara langsung, seandainya di antara mereka ada yang mengakhirkan tetapi dengan cara yang baik. Tatkala manusia mengakhirkan mahar padahal waktunya lama dan terkadang lupa maka mereka menulis mahar yang diakhirkan tersebut, sehingga catatan itu merupakan bukti kuat tentang mahar dan bahwasanya wanita tersebut adalah istrinya”.[6]
Manfaat Pencatatan Akad Nikah
Pencatatan akad nikah secara resmi memiliki beberapa manfaat yang banyak sekali, di antaranya:
Bila Undang-Undang Mewajibkan Pencatatan Akad Nikah
Melihat manfaat-manfaat pencatatan akad nikah di atas, maka hampir semua Negara sekarang membuat undang-undang agar pernikahan warganya dicatat oleh pegawai yang telah ditunjuk pemerintah. Undang-undang ini merupakan politik syar’i[8] yang ditetapkan oleh pemerintah karena memandang maslahat di baliknya yang sangat besar sekali yaitu untuk menjaga hak dan khawatir adanya pengingkaran.[9]
Kita tidak boleh lupa bahwa agama Islam dibangun di atas maslahat dan menolak kerusakan. Seandainya saja undang-undang ini disepelehkan pada zaman sekarang niscaya akan terbuka lebar kerusakan dan bahaya yang sangat besar serta pertikaian yang berkepanjangan, tentu saja hal itu sangat tidak sesuai dengan syari’at kita yang indah.
Jadi, apabila pemerintah memandang adanya undang-undang keharusan tercatatnya akad pernikahan, maka itu adalah undang-undang yang sah dan wajib bagi rakyat untuk mematuhinya dan tidak melanggarnya. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. (QS. An-Nisa’: 59)
Al-Mawardi berkata: “Allah mewajibkan kepada kita untuk mentaati para pemimpin kita”.[10]
Dan masih banyak lagi dalil-dalil lainnya yang mewajibkan kepada kita untuk taat kepada pemimpin selama perintah tersebut bukan suatu yang maksiat.[11]
Dalam sebuah kaidah fiqih yang populer dikatakan:
تَصَرُّفُ الإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ Ketetapan pemerintah pada rakyat tergantung kepada maslahat (kebaikan).[12]
تَصَرُّفُ الإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
Ketetapan pemerintah pada rakyat tergantung kepada maslahat (kebaikan).[12]
Lantas, masalahat apa yang lebih besar daripada menjaga kehormatan dan nasab manusia?!!!
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: Perintah pemerintah terbagi menjadi tiga macam:
Adapun anggapan bahwa tidak ada ketaatan kepada pemimpin kecuali apabila sesuai dengan perintah Allah saja, sedangkan peraturan-peraturan yang tidak ada dalam perintah syari’at maka tidak wajib mentaatinya, maka ini adalah pemikiran yang bathil dan bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.[13]
Apakah Pencatatan Akad Merupakan Syarat Sahnya Nikah?
Betapapun pentingnya pencatatan akad nikah pada zaman sekarang yang penuh dengan fitnah dan pertikaian. Sekalipun demikian, pencatatan akad nikah dalam catatan resmi KUA bukanlah sebuah syarat sahnya sebuah pernikahan. Artinya, suatu pernikahan tetap hukumnya sah apabila telah terpenuhi semua syaratnya sekalipun tidak tercatat dalam KUA. Hal ini berdasarkan argumen sebagai berikut:
Hukum Nikah Tanpa KUA
Karena masalah pencatatan akad nikah ini termasuk masalah kontemporer, maka tak heran biasanya para ulama berbeda pandang tentang hukumnya. Silang pendapat mereka dapat kita bagi sebagai berikut:
Setelah menimbang ketiga pendapat di atas, penulis lebih cenderung kepada pendapat ketiga yang mengatakan bahwa pernikahan tanpa KUA hukumnya adalah sah sebab pencatatan akad nikah bukanlah syarat sahnya nikah sebagaimana telah lalu. Hanya saja, bila memang suatu pemerintah telah membuat suatu undang-undang keharusan pencatatan akad nikah, maka wajib bagi kita untuk mentaatinya dan tidak melanggarnya karena hal itu bukanlah undang-undang yang maksiat atau bertentangan dengan syari’at bahkan undang-undang tersebut dibuat untuk kemaslahatan yang banyak. Apalagi, hal itu bukanlah suatu hal yang sulit, bahkan betapa banyak penyesalan terjadi akibat pernikahan yang tak tercatat di bagian resmi pemerintah[15].
Berikut ini sebuah fatwa tentang masalah ini dari anggota komisi fatwa Saudi Arabia yang diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz, anggota Syaikh Abdur Rozzaq Afifi, Abdullah Al-Ghudayyan, Abdullah bin Qu’ud:
Soal:
Dalam undang-undang Negara, seorang muslim dan muslimah yang ingin menikah dituntut untuk datang ke kantor pencatatan akad nikah, sehingga keduanya-pun datang ke kantor bersama para saksi dan melangsungkan akad nikah di sana. Apakah ini merupakan nikah yang syar’i? Bila jawabannya adalah tidak, maka apakah muslim dan muslimah harus mendaftar dan mencatat sebelum akad nikah sesuai dengan undang-undang? perlu diketahui bahwa pencatatan ini berfaedah bagi suami istri ketika terjadi sengketa?
Jawab:
Apabila telah terjadi akad ijab qobul dengan terpenuhinya semua syarat nikah dan tidak ada semua penghalangnya maka pernikahan hukumnya adalah sah. Dan apabila secara undang-undang, pencatatan akad nikah membawa masalahat bagi kedua mempelai baik untuk masa sekarang maupun masa depan maka hal itu wajib dipatuhi.[16]
Kesimpulan
Dari keterangan di atas, dapat kita tarik sebuah kesimpulan sebagai berikut:
Demikianlah pembahasan yang dapat kami ketengahkan pada kesempatan kali ini. Sekali lagi, hati kami terbuka untuk menerima tanggapan dan kritikan dari saudara pembaca semua demi kebaikan kita bersama.
">
Tidak ada komentar:
Posting Komentar