Selama ini sebagian besar orang memahami
lilin sebagai simbol filosofi hidup yang
sia-sia. Hanya bisa menerangi sementara dirinya sendiri hancur. Lalu muncul statement
jangan hidup seperti lilin. Aku mungkin salah satu dari sebagian kecil orang yang mencoba memahami filosofi lilin dengan perspektif yang berbeda.
Lilin, ketika dirinya sendiri meleleh habis terbakar setelah memancarkan cahaya menerangi kegelapan, sesungguhnya apa yang terjadi bukanlah suatu
kehancuran. Melelehnya lilin itu pada hakikatnya adalah simbolisasi penyatuan jatidiri dengan pancaran cahaya yang keluar dari api yang membakar dirinya sendiri, itulah yang disebut sebagai puncak dari suatu hikmat pengorbanan yang tulus tanpa pamrih. Hanya mereka yang mau berkorban dengan tulus tanpa pamrih seperti
lilin yang akan berhasil mencapai puncak kesadaran kosmik (pencerahan), suatu konsepsi kesadaran yang dibutuhkan sebagai tiket menuju puncak kebahagiaan yang dicita-citakan oleh semua ummat manusia dan bangsa-bangsa di dunia. Manusia dalam kondisi kesadaran seperti inilah yang tercerahkan dan mampu mencerahkan kehidupan. Menjadi pemimpin yang adil, pejabat yang taat hukum dan tidak korupsi, ayah yang bijak, ibu yang penuh cinta dan kasih, anak yang sholeh dan hormat pada orang tua, murid yang santun, dan seterusnya. Belajarlah hidup seperti
lilin, menerangi kegelapan dan berkorban dengan tulus tanpa pamrih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar