Kamis, 12 Agustus 2010

PENANGKAPAN USTADZ BA'ASYIR dan KEHANCURAN NKRI


Bulan Ramadhan 1431 H ini, kaum Muslimin Indonesia diberi “hadiah istimewa” oleh Pemerintah SBY. Kenaikan tarif dasar listrik, kenaikan harga-harga kebutuhan pokok di pasaran, teror bom gas 3 kg yang terus makan korban, dan satu lagi yaitu penangkapan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir dan sejumlah pemuda-pemuda Muslim yang dituduh melakukan terorisme. Senin, 9 Agustus 2010, sekitar dini hari, rombongan Ustadz Ba’asyir ditangkap Densus88 di Banjar.

Kalau setiap hari kita mengikuti omongan seputar terorisme yang keluar dari lidah Ansyad Mbai, Edward Aritonang, Bambang Hendarso, Suryadarma Nasution, Abdurrahman Assegaf, Nashir Abbas, dll. tentu kita akan meyakini, bahwa Ustadz Ba’asyir dan kawan-kawan adalah teroris; teroris ingin menghancurkan NKRI; teroris adalah musuh negara; teroris harus dihancurkan sampai ke akar-akarnya. Kebanyakan orang awam percaya dengan opini-opini media yang dibuat-buat seperti ini.

Karena Lemah, Ummat Selalu Jadi Bulan-bulanan Aparat

Tetapi kalau kita kritis, bijaksana, dan mendalam ilmunya, kita pasti akan sangat sedih dengan penangkapan Ustadz Ba’asyir itu. Penangkapan tersebut akibatnya sangat berat bagi kehidupan bangsa Indonesia, bahkan bagi keutuhan NKRI sendiri. Kalau Anda memahami, penangkapan seperti itu justru akan menghancurkan bangsa kita sendiri.

Lho, kok bisa sih? Apa alasannya? Yang bener saja, masak penangkapan Ustadz Ba’asyir akan menghancurkan NKRI? Jangan-jangan, ini mengada-ada?

Benar, sungguh benar. Argumentasi pendapat di atas ada dan kuat. Hanya kita selama ini tidak memahami, maka kita hanya ikut-ikutan saja opini dan kebijakan yang ditempuh Polri. Sungguh, langkah-langkah Polri ini sangat cepat akibatnya dalam memporak-porandakan kesatuan NKRI.

Apa dong argumentasinya?

SATU: Polri selama ini mengklaim sedang memerangi terorisme, tetapi tanpa disadari cara-cara mereka justru melahirkan TERORISME baru yang sangat melemahkan kehidupan masyarakat. Polri selama ini telah melakukan 3 TEROR sekaligus: teror hukum, teror opini, dan teror psikologi masyarakat.

Coba saja Anda lihat, berapa banyak pemuda-pemuda Islam dibunuhi, ditembaki, dikepung, disiksa, dan seterusnya. Polri ingin menegakkan hukum, dengan cara melanggar hukum. Tidak ada pengadilan, tidak ada kebebasan membela diri, tidak ada transparansi, dll. Kemudian, dalam kasus terorisme ini hanya berlaku satu opini saja, yaitu opini Polri. Tidak ada opini dari tim idependen, tidak ada opini dari anggota DPR, tidak ada opini dari jurnalis, tidak ada opini dari Komnas HAM, tidak ada opini dari perwakilan Muslim, dst. Opini hanya dari polisi saja. Maka tidak salah kalau mereka dianggap menterorkan opininya ke kepala ratusan juta rakyat Indonesia, dan dunia internasional.

Semua kasus-kasus terorisme ini bukan membuat masyarakat semakin tentram, justru sebaliknya. Ketakutan, khawatir, cemas, depressi melanda dimana-mana. Inilah teror psikologi bagi masyarakat luas.

DUA, hampir semua kejadian terorisme di Indonesia sangat kuat aroma rekayasanya. Sampai ada yang mengatakan, kasus-kasus terorisme ini muncul ada jadwalnya. Bukti bahwa kasus-kasus terorisme ini hanya hasil rekayasa, ketika pengembangan isu terrisme dari satu kasus ke kasus lain cenderung sama. Modelnya sama. Mula-mula muncul kasus terorisme, lalu terjadi pengejaran, penangkapan, penggerebekan; lalu dibuat opini media secara intensif; dan herannya, ketika kasus-kasus terorisme ini dibawa ke ranah hukum, tiba-tiba kehilangan bobotnya. Seakan, Polri hanya membutuhkan kemenangan opini di tingkat media saja, dengan tidak peduli kelanjutan kasus-kasus itu secara hukum. Desain seperti ini diulang-ulang sejak jaman Imam Samudra sampai Ustadz Ba’asyir saat ini.

TIGA, fenomena terorisme di Indonesia, rata-rata dikembangkan berdasarkan tekanan asing. Bukti paling mudah untuk disebut, ketika SBY mengumumkan kematian Dul Matin di depan Parlemen Australia, lalu dia mendapat tepuk-tangan sangat meriah. Kalau SBY seorang pemimpin yang nasionalis dan punya harga diri, pasti akan malu mengumumkan aib rakyatnya sendiri di depan parlemen orang asing, di negeri mereka pula. Kesan yang bisa ditangkap disana, SBY seperti “sedang memberi laporan” kepada Australia.

EMPAT, Polri selama ini telah melakukan kesewenang-wenangan hukum yang pasti sangat meresahkan masyarakat luas. Bayangkan, pemuda-pemuda yang dituduh teroris itu ditembaki, disergap, dibunuh, ditangkap paksa, disiksa, dll. tanpa melalui mekanisme hukum yang wajar. Bahkan sudah menjadi rahasia umum, bahwa para aparat hukum yang mengadili pelaku-pelaku yang dituduh teroris itu, mereka tidak suka dengan pembelaan dari Tim Pembela Muslim (TPM). Polri telah menyediakan pembela khusus untuk para terdakwa itu.

Kenyataan ini mencerminkan betapa bobrok-nya proses penegakan hukum. Seakan, aparat yang punya kekuatan bisa bersikap sewenang-wenang. Sementara rakyat yang tidak memiliki power, mereka menjadi bulan-bulanan. Nah, kenyataan seperti itu nanti bisa menimpa siapa saja. Siapapun yang terkena kasus hukum, bisa dimasukkan dalam mekanisme hukum yang sewenang-wenang ini. Bahkan bisa saja, seseorang dijebak agar terlibat dalam kasus tertentu, lalu diadili secara sewenang-wenang. Ini adalah mushibah hukum yang mengerikan.

LIMA, siapa bisa menjamin bahwa kasus terorisme ini akan berhenti sampai penangkapan Ustadz Ba’asyir? Siapa bisa menjamin, bahwa setelah itu tak ada kasus terorisme lagi? Bukankah Polri selalu memiliki DPO yang memperpanjang usia pengembangan isu terorisme ini? Tidak pernah ada ceritanya, Polri merasa puas dan tuntas dalam menyelesaikan kasus-kasus terorisme. Selalu saja ada “pelaku-pelaku lain yang masih DPO”. Nah, pelaku-pelaku ini nanti akan “dikumpulkan” untuk membuat kasus terorisme baru. Artinya, masyarakat Indonesia siap-siap saja bersabar menghadapi semua cobaan ini. “Kesabaran kita masih panjang, kawan. Daftar DPO masih banyak!” Tidak heran jika sebagian orang menyebut kasus-kasus seperti ini sebagai “bisnis keamanan”.

ENAM, ketika rakyat Indonesia terus ribut dengan masalah terorisme, di bagian lain kekuatan ekonomi asing terus intensif mengeruk kekayaan nasional. Sambil terkekeh-kekeh mereka ketawa, “Hi hi hi…biarin saja mereka ribut terus soal teroris. Kita tenang-tenang saja mengeruk kekayaan negeri ini. Santai saja, man. Kita aman disini. Polisi Indonesia sangat berjasa mengamankan bisnis kita. Hi hi hi…”

TUJUH, isu terorisme kerap kali menjadi “jalan keluar” ketika Pemerintah sedang terpojok. Ratusan bom gas 3 kg terus meleduk, tarif listrik naik, harga-harga kebutuhan hidup semakin mencekik. Lahirnya isu terorisme sangat efektif membuat masyarakat lupa dengan tanggung-jawab Pemerintah.

DELAPAN, sangat jelas dan jelas sekali, semua kasus-kasus terorisme ini, beserta dampak ikutannya, akan sangat mencabik-cabik persatuan nasional. Muncul rasa marah, benci, dendam, saling curiga, antipati, serta permusuhan antar sesama anak bangsa. Hal itu adalah kenyataan yang jelas. Citra Polri di mata kalangan dakwah Islam jatuh sejatuh-jatuhnya. Bagaimana bangsa Indonesia bisa stabil melakukan pembangunan, jika dalam diri bangsa ini sendiri muncul bahaya laten permusuhan horisontal?

Katanya, Polri ingin menjaga keutuhan NKRI. Tetapi nyatanya mereka justru menyebarkan bara kebencian, permusuhan, dan antipati di tubuh masyarakat luas. Lebih menyedihkan lagi, ketika Polri terbukti tidak garang ketika menghadapi koruptor, pejabat nakal, skandal nasional, konglomerat hitam, bahkan kasus-kasus mafia hukum di tubuh Polri sendiri. Polri hanya keras kepada pemuda-pemuda Islam, bukan ke koruptor dan mafia. Semua ini jelas sangat membahayakan persatuan nasional (NKRI).

SEMBILAN, satu kesalahan yang sangat fatal ketika Polri memfitnah tokoh kebaikan seperti Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Ansyad Mbai mengatakan, 4 pemuda yang ditangkap di Bandung, ternyata terpengaruh ceramah-ceramah Ustadz Ba’asyir. Ini kan argumentasi yang sangat lucu. Jika demikian, mengapa wartawan-wartawan TV itu tidak ditangkap sekalian. Sebab mereka saban hari memprovokasi masyarakat dengan menyiarkan berita-berita kriminal. Harus dicatat, berita kriminal bisa menjadi inspirasi kejahatan juga.

Kalau di negara ini tokoh-tokoh yang baik dan konsisten dengan kebenaran, terus dihujani fitnah, lalu bagaimana bangsa ini akan selamat? Mereka akan dipimpin oleh orang-orang yang salah, zhalim, dan pendusta. Padahal kita tahu, orang-orang zhalim itu sangat egois, hanya memikirkan diri sendiri. Jika demikian, NKRI jelas akan hancur. NKRI ini akan dikelola oleh orang-orang yang salah.

SEPULUH, kalau masyarakat diam saja melihat kezhaliman yang dilakukan oleh Polri, para alim-ulama juga diam, partai-partai Islam juga diam, kaum terpelajar diam juga, sementara rakyat kecil juga ikut-ikutan diam; tahukah Anda apa akibatnya jika fenomena diam diri ini telah menguasai bangsa ini? Demi Allah, bangsa ini akan diadzab oleh Allah sekeras-kerasnya, karena telah berdiam diri melihat kezhaliman di depan matanya, secara kolektif. Dalam hadits shahih disebutkan firman Allah, “Siapa saja yang memusuhi wali-Ku, Aku menyatakan perang kepadanya.” Kalau Polri memusuhi wali-wali Allah, dan kaum Muslimin di negeri ini hanya diam saja, maka adzab itu akan menimpa kita. Dan Allah akan menyelamatkan hamba-hamba-Nya yang istiqamah.

Terakhir, wahai bangsa Indonesia, aku ingin mengingatkanmu…

Ustadz Ba’asyir dan puluhan pemuda-pemuda Islam ditangkap karena terlibat TERORISME DI ACEH. Lalu kita mau bertanya, apakah ada kegiatan terorisme di Aceh? Apakah ada peledakan bom? Apakah ada penyerangan kantor-kantor polisi, atau kantor pemerintahan? Apakah ada korban sipil akibat serangan teroris itu?

Sungguh, kejadian di Aceh sangat berbeda dengan Ritz Carlton, JW. Marriot, Bom Bali, dll. Disana itu ada latihan-latihan kemiliteran puluhan pemuda. Mereka membawa senjata api dan sempat melakukan perlawanan ketika mereka diserang polisi. Dosa mereka secara hukum: membawa senjata api, melakukan latihan militer tanpa ijin, dan balas menyerang aparat ketika mereka disergap. Kesalahan-kesalahan seperti ini tidak seperti kasus terorisme yang sudah sering terjadi di Indonesia. Kalau ada ide ingin menyerang Presiden saat 17 Agustus, itu hanyalah klaim sepihak yang dibuat oleh Polri.

Apa yang terjadi di Aceh jauh dari kategori kejahatan terorisme yang kita kenal selama ini. Nah, mengapa kemudian pemuda-pemuda itu, bahkan Ustadz Ba’asyir dikait-kaitkan dengan perbuatan terorisme, dengan memakai UU terorisme? Coba saja Anda tanya diri sendiri:Siapa yang diteror oleh pemuda-pemuda itu? Mereka latihan di tengah hutan, jauh dari penduduk, tidak menyerang warga asing, tidak menyerang hotel, dll.

OK, kesalahan mereka karena menyimpan senjata api, melakukan latihan militer liar, dan menyerang aparat yang menyergap mereka; semua itu diadili secara hukum. Tetapi ia belum cukup diangkat sebagai kasus terorisme. Sangat berbeda antara latihan militer dengan pengeboman di JW. Marriot. Siswa-siwa bencong di acara Be A Man juga melakukan latihan-latihan militer. Ingat itu!

Ini tantangan besar bagi Muslimin Indonesia. Sanggupkah kita mengakhiri kezhaliman Polri terhadap seorang ustadz sepuh yang shalih? Kalau kita tak sanggup, persiapkan kesabaran Anda setebal-tebalnya. Ada bencana besar yang menghadang bangsa ini karena diam dirinya melihat kezhaliman.

Semoga bermanfaat. Walhamdulillah Rabbil ‘alamiin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar