Selasa, 03 Agustus 2010

KHILAFAH di atas MANHAJ NUBUWAH

Judul di atas merupakan cuplikan dari sebuah hadits Nabawi yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dari shahabat Hudzaifah:“Akan ada masa kenabian pada kalian selama yang Allah kehendaki, Allah mengangkat atau menghilangkannya kalau Allah menghendaki. Lalu akan ada masa khilafah di atas manhaj nubuwwah selama Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya jika Allah menghendaki. Lalu ada masa kerajaan yang sangat kuat selama yang Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya bila Allah menghendaki. Lalu akan ada masa kerajaan (tirani) selama yang Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya bila Allah menghendaki. Lalu akan ada lagi masa kekhilafahan di atas manhaj nubuwwah.“ Kemudian beliau diam.” (HR. Ahmad, 4/273, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 5) Dalam hadits di atas sangat jelas bahwa khilafah di atas manhaj nubuwwah (jalan Nabi) merupakan suatu karunia Allah semata. Tak seorang muslim pun yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kecuali pasti dia akan mengharapkan terwujudnya khilafah tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dengan tegas mengatakan bahwa hal itu pasti terjadi pada umat ini. Janji ini telah teralisasi pada masa generasi terbaik umat ini, dan Allah tetap menjanjikan kepada umat ini akan terwujudnya kembali khilafah tersebut di tengah-tengah mereka jika memang syarat-syaratnya telah dipenuhi, sebagaimana firman-Nya:“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kalian dan mengerjakan amal-amal shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka dan Dia dia benar-benar akan menggantikan kondisi mereka setelah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap beribadah kepada-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Ku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasiq.” (An-Nur: 55)

Barangsiapa yang ingin mengetahui bagaimana gambaran Khilafah ‘ala Manhajin Nubuwwah, maka hendaknya dia melihat pada daulah yang dipimpin oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan para Khulafa`ur Rasyidin sepeninggal beliau.
Secara ringkas gambarannya adalah: Sebuah khilafah yang didirikan di atas tauhid dan dakwah menuju kepada tauhid, ditegakkannya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam serta dakwah menuju kepada As Sunnah. Diperanginya kesyirikan dengan berbagai macam bentuknya, sehingga tidak ada lagi peribadatan yang diberikan kepada selain Allah. Diperanginya segala bentuk bid’ah baik dalam akidah, ibadah, maupun muamalah. Ditegakkannya syariat Islam oleh setiap muslim sebelum ditegakkan oleh pemerintahnya. Kondisi masyarakatnya senantiasa mengutamakan dan mementingkan ilmu syar’i, jauh dari kungkungan filsafat dan pengagungan rasio. Masyarakatnya taat dan patuh kepada pemerintah serta menegakkan jihad syar’i [1] bersama pemerintah. Merekalah generasi terbaik yang dipuji oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam di dalam haditsnya:

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian yang setelahnya, kemudian yang setelahnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radiyallahu ‘anhu)

Itulah gambaran singkat Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah. Bukan seperti yang dikhayalkan oleh sebagian aktivis pergerakan Islam dan para pengikutnya. Tidak mungkin khilafah tersebut akan terwujud melalui tangan orang-orang yang berakidah Tashawwuf, Mu’tazilah, Qadariyah, dan sebagainya, sebagaimana hal ini didapati pada sebagian aktivis kelompok Al-Ikhwanul Muslimun dan Hizbut Tahrir.
Dan tidak mungkin pula khilafah tersebut akan tegak di tengah-tengah umat yang masih meremehkan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan bergelimang dalam berbagai macam bid’ah baik dalam akidah, ibadah, dakwah, dan muamalah. Semoga Allah Ta’ala melindungi dan membimbing umat ini pada jalan yang lurus.
Dari hadits Hudzaifah di atas, jelas bagi kita bahwa meskipun suatu negara atau pemerintah tidak berbentuk khilafah -baik itu berbentuk kerajaan, republik, parlementer atau yang lainnya- selama masih memenuhi kriteria dan definisi sebagai negara Islam, maka statusnya tetap sebagai negara Islam. Sehingga kewajiban mendengar dan taat tetap berlaku dan tidak boleh memberontak kepadanya, bahkan meskipun pemerintah yang zalim dan banyak memakan ‘uang rakyat’ sekalipun.

Pada kesempatan ini pula, kami mengingatkan kepada pihak-pihak yang apriori dan pesimis serta berpandangan negatif terhadap Khilafah Islamiyyah, yang banyak dimunculkan oleh orang-orang yang telah menimba ilmu dari negeri Barat dan pola pikir mereka telah dipenuhi oleh cara-cara berpikir Yahudi dan Nashara serta kaum filosof.

Perbedaan Daulah Islamiyyah dan Daulah Kafirah

Diantara polemik yang sering muncul di tengah-tengah umat Islam dan telah menimbulkan banyak kekeliruan di dalam memahaminya, sehingga berujung pada sikap dan tindakan yang keliru, adalah pemahaman tentang definisi Daulah Islamiyyah dan Daulah Kafirah. Kapan sebuah negara dinyatakan sebagai Daulah Islamiyyah dan kapan dinyatakan sebagai Daulah Kafirah.

Telah dibahas dalam rubrik Manhaji (di majalah ini) bahwa tolok ukur suatu negara dinyatakan sebagai Daulah Islamiyyah atau Daulah Kafirah adalah kondisi penduduknya, bukan sistem hukum yang diterapkan dan bukan pula sistem keamanan yang mendominasi negeri tersebut, sebagaimana diterangkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. (Majmu’ Fatawa, 18/282)

Sebagian ulama menyebutkan bahwa Daulah Islamiyyah adalah: Sebuah daulah yang mayoritas penduduknya muslimin dan ditegakkan padanya syi’ar-syi’ar Islam seperti adzan, shalat berjamaah, shalat Jum’at, shalat ‘Id, dalam bentuk pelaksanaan yang bersifat umum dan menyeluruh. Dengan demikian, jika pelaksanaan syi’ar-syi’ar Islam itu diterapkan tidak dalam bentuk yang umum dan menyeluruh, namun hanya terbatas pada minoritas muslimin maka negeri tersebut tidak tergolong negeri Islam. Hal ini sebagaimana yang terjadi di beberapa negara di Eropa, Amerika, dan yang lainnya dimana syi’ar-syi’ar Islam dilakukan oleh segelintir muslimin yang jumlahnya minoritas. (lihat penjelasan ini dalam kitab Syarh Tsalatsatul Ushul oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah)

Sehingga dengan demikian, negeri seperti Indonesia ini adalah termasuk negeri Islam. Karena syi’ar-syi’ar Islam, baik shalat berjamaah, shalat Jumat, shalat ‘Id, dilaksanakan secara umum di negeri ini. Demikian juga, adzan senantiasa berkumandang setiap waktu shalat di masjid-masjid kaum muslimin.

Beranjak dari definisi dan pemahaman yang keliru tentang Daulah Islamiyyah dan Daulah Kafirah, banyak dari aktivis teroris (neo-Khawarij) menghukumi sekian negara-negara muslimin sebagai negara kafir. Diantara mereka adalah:
Muhammad Surur bin Nayef Zainal Abidin [2], ketika dia menggambarkan bahwa kekufuran itu bertingkat-tingkat, dimana dia berkata:
Peringkat Pertama: Pimpinan Amerika Serikat, George Bush, yang bisa jadi berikutnya adalah Clinton (waktu itu, red)

Peringkat Kedua: Penguasa-penguasa negeri Arab, dimana mereka (para penguasa Arab itu) berkeyakinan bahwa manfaat dan madharat mereka ada di tangan Bush. Sehingga atas dasar itu mereka pergi ‘berhaji’ menuju kepadanya (Bush) serta mempersembahkan nadzar dan kurban.

Peringkat Ketiga: Para kaki tangan pemerintah/penguasa Arab, baik para menteri dan wakil-wakil, pimpinan militer, dan….

Peringkat keempat, kelima, dan keenam: Para staf kementerian…. (ucapan ini dikutip dari Majallah As-Sunnah edisi XXVI th. 1413 H; hal. 2-3)

Usamah bin Laden
Sebagaimana dimuat dalam koran Ar-Ra`yil ‘Am Al-Kuwaiti edisi 11-11-2001 M, Usamah bin Ladin menjawab: “Hanya Afghanistan sajalah Daulah Islamiyyah itu. Adapun Pakistan dia memakai undang-undang Inggris. Dan saya tidak menganggap Saudi itu sebagai negara Islam…”

Jika para tokoh teroris tersebut telah menghukumi negara Arab, terkhusus Saudi Arabia sebagai negara kafir —padahal di Saudi Arabia telah diterapkan syi’ar-syi’ar Islam secara umum dan menyeluruh bahkan ditegakkan pula hukum-hukum had dan hukum Islam yang lainnya—maka apakah kiranya penilaian mereka terhadap negara seperti Indonesia ini?

Akibat dari keputusan tersebut di atas (pengkafiran terhadap negara-negara Islam) melahirkan keputusan berikutnya, yaitu: kewajiban memerangi negara-negara tersebut (yang telah dihukumi kafir).
Kita berdoa kepada Allah Ta’ala semoga memberikan taufiq dan hidayah-Nya kepada kaum muslimin untuk kembali kepada jalan pemahaman yang lurus, yaitu pemahaman as-salafush shalih, generasi terbaik umat ini.

Dengan Apa Khilafah Islamiyyah bisa Terwujud ?

Daulah Islamiyyah, atau yang terkadang diistilahkan dengan Khilafah Islamiyyah, yang ditegakkan padanya tauhid dan peribadahan kepada Allah Ta’ala semata, dihidupkan padanya Sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam serta diaplikasikannya seluruh syi’ar dan hukum Islam, adalah dambaan bagi setiap muslim yang beriman kepada Allah Ta’ala dan hari akhir. Namun sebuah pertanyaan besar yang harus diajukan dalam kondisi ini adalah: Bagaimana dan dengan apa Daulah Islamiyyah tersebut bisa ada dan bersemi di bumi Allah Ta’ala ini?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka sebelumnya kita semua harus tahu dan ingat bahwa generasi awal umat ini yang diperankan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan para shahabatnya telah berhasil -dengan izin Allah- menggapai Daulah Islamiyyah tersebut. Maka tentunya, setiap muslim yang berharap terwujudnya Khilafah Islamiyyah di bumi Allah Ta’ala ini, akan menjadikan jejak langkah generasi yang telah berhasil itu sebagai contoh dan suri teladan baginya dalam usaha mewujudkan Daulah Islamiyyah. Suatu perkara yang mustahil, hal itu akan terwujud tanpa meneladani jejak langkah generasi yang telah berhasil. Sebagaimana ditegaskan oleh Al-Imam Malik rahimahullah:

“Tidak akan menjadi baik (stabil) generasi akhir umat ini kecuali dengan perkara-perkara yang dengannya telah menjadi baik (stabil) generasi awal umat ini.”

Atas dasar itulah kami mengajak semua pihak, yang mengklaim dirinya berharap terwujudnya Daulah Islamiyyah, untuk dengan jujur, sportif, dan sungguh-sungguh menengok dan merujuk kepada jejak langkah generasi terbaik umat ini. Dengan meninggalkan segala bentuk ra`yu, pikiran, dan cara yang sama sekali tidak dilandasi oleh jejak langkah generasi awal umat ini, karena hal itu tidak lain hanya akan mendatangkan kehancuran.

Segala bentuk kebaikan didapati pada sikap ittiba’ (mengikuti) jejak (generasi) Salaf. Dan segala bentuk kejahatan didapati pada tindakan ibtida’ (mengada-ada) oleh generasi belakangan.

Untuk itu, ada beberapa hal penting yang menjadi sebab utama bagi terwujudnya Khilafah Islamiyyah yang didamba-dambakan itu. Apabila sebab-sebab utama ini diabaikan oleh kaum muslimin maka pupuslah harapan tersebut dan mustahil dambaan tersebut akan bisa terwujud. Sebab-sebab itu antara lain:

1. Kembalinya umat Islam secara menyeluruh kepada bimbingan Al Qur`an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam sesuai dengan apa yang telah difahami dan diamalkan oleh Salaful Ummah. Sehingga dengan itu mereka selamat dari berbagai macam bentuk bid’ah dan kesesatan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam:

“Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku. Keduanya tidak akan berselisih sampai keduanya mendatangiku di Al-Haudh.” (HR. Malik dan Al-Hakim. Asy-Syaikh Al-Albani berkata: “Sanadnya hasan.”)

Sikap kembali dan ruju’ kepada Al-Kitab dan As Sunnah sesuai dengan yang difahami oleh Salaful Ummah ini sangat menentukan keberhasilan dan keselamatan umat ini dari kehancuran, dan merupakan salah satu syarat keberhasilan umat Islam. Hal ini sebagaimana telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dalam haditsnya:

“Apabila kalian telah berjual beli dengan cara ‘inah [3], dan kalian telah disibukkan dengan memegang ekor-ekor sapi, dan telah senang dengan bercocok tanam, serta kalian telah meninggalkan jihad, niscaya Allah akan timpakan kepada kalian kehinaan. Tidak akan dicabut kehinaan tersebut sampai kalian kembali kepada agama kalian.” (HR. Abu Dawud, Ahmad. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam Ash-Shahihah no. 11)

2. Syarat yang kedua untuk terwujudnya Khilafah Islamiyyah bagi kaum muslimin adalah: Terealisasinya keimanan yang murni dan benar dalam semua perkara yang telah Allah wajibkan untuk kita imani secara kaffah (menyeluruh).

Beriman kepada Allah, bahwasanya Dialah Dzat satu-satunya yang berhak untuk diibadahi, tanpa yang lain-Nya, Yang memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang mulia sesuai dengan apa yang diberitakan oleh-Nya di dalam Al Qur`an atau diberitakan oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wassalam. Dan tidak didapati di muka bumi ini kaum muslimin melakukan kesyirikan dengan berbagai macam bentuknya. Tidak didapati di muka bumi ini orang-orang yang berdoa dan ber-istighatsah kepada kubur-kubur, atau menyerahkan sesajen kepada jin atau kepada orang-orang yang dianggap wali. Tidak pula didapati orang-orang yang mengingkari sifat-sifat Allah baik dengan cara menolaknya secara mutlak sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Jahmiyah dan Al-Mu’tazilah, atau dengan cara penyelewengan makna dan sifat-sifat Allah tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok Al-Asya’irah dan Al-Maturidiyah.

Mengimani bahwa Allah ber-istiwa` di atas ‘Arsy-Nya di atas langit yang ketujuh, dan tidak ada lagi yang meyakini keyakinan-keyakinan batil dan sesat yang menyatakan bahwa Allah berada di setiap tempat (dimana-mana), bahkan bersatu dengan tubuh makluk-makhluk-Nya. Akidah sesat semacam ini tidak hanya menjangkiti orang-orang awam dari kaum muslimin, bahkan telah menimpa dan disebarkan oleh beberapa aktivitis pergerakan Islam, yang tidak jarang diantara mereka mendengung-dengungkan kewajiban mendirikan Khilafah Islamiyyah di tengah-tengah umat. Diantara beberapa aktivis pergerakan Islam itu sendiri, tidak jarang pula yang terjatuh dalam perbuatan syirik dan bid’ah. Diantaranya seperti yang dilakukan salah satu tokoh kelompok sempalan: Ikhwanul Muslimin di Syiria yang bernama Musthafa As-Siba’i (bahkan Hasan Al-Banna). Yaitu ketika dia membacakan bait syair yang berisi doa dan istighatsah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam yang dia dendangkan di depan pintu kubur Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. Diantaranya dia menyatakan:

“Wahai tuanku, wahai kekasih Allah, aku telah datang. Di hadapan kusen (ambang) pintumu mengadukan derita karena penyakitku.”

Dalam bait syair tersebut dia (Musthafa) ber-istighatsah kepada Nabi, memanggilnya, dan mengeluhkan penyakitnya kepada beliau. Jelas-jelas ini merupakan syirik besar yang bisa mengancam pelakunya keluar dari Islam.

Kalau kesyirikan besar semacam ini telah menimpa salah seorang tokoh besar kelompok sempalan Ikhwanul Muslimin yang selalu mengelu-elukan Khilafah Islamiyyah, lalu bagaimanakan kiranya yang terjadi pada para pengikut kelompok sempalan tersebut? Lebih-lebih lagi, bagaimana pula dengan yang terjadi pada orang-orang awam dari kalangan muslimin? Tentu dengan itu Allah tidak akan mewujudkan janji-Nya bagi umat ini untuk memberikan khilafah kepada mereka, sebagaimana firman-Nya di dalam Surat An-Nur ayat 55.

Belum lagi kita berbicara tentang perkara-perkara iman yang lainnya, yang ternyata di tengah-tengah umat ini, baik dari kalangan awam maupun -sekali lagi- para aktivis pergerakan Islam, akidah dan iman mereka masih ‘tidak beres’ dan carut marut baik dalam pemahaman maupun pengamalan.

3. Merealisasikan dakwah tauhid dan pembenahan akhlak umat. Sebagaimana telah dicontohkan oleh para nabi, yang mana itu merupakan misi utama dakwah mereka.

Sebagaimana firman Allah:

“Sesungguhnya telah Kami utus pada tiap-tiap umat seorang rasul (dengan tugas menyeru) beribadahlah kalian kepada Allah (saja) dan jauhilah oleh kalian thagut.” (An-Nahl: 36)

“Tidaklah Kami utus sebelummu seorang rasul-pun kecuali pasti kami wahyukan kepadanya: Sesungguhnya tidak ada yang berhak untuk diibadahi kecuali Aku, maka beribadahlah kalian semuanya (hanya) kepada Ku.” (Al-Anbiya`: 25)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam juga bersabda:

“Sesungguhnya tidaklah aku diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, Ahmad, dan Al-Hakim. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 45)

4. Kesungguhan di dalam menuntut ilmu Dinul Islam dari sumbernya yang asli dan referensinya yang terjamin, yaitu para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dengan ilmu itulah seorang muslim dapat memahami dan mengenal agama sesuai dengan yang diinginkan oleh Allah. Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menjamin terwujudnya kebaikan dan kemuliaan bagi umat ini jika mereka mau bersungguh-sungguh menuntut ilmu agama.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam juga telah bersabda:

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya niscaya Allah jadikan ia faqih (faham) tentang Ad-Dien.” (Muttafaqun ‘alaihi, dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan)

Diantara bentuk kebaikan dan kemuliaan tersebut adalah terwujudnya kewibawaan Islam dan kaum muslimin serta terjaminnya keamanan dan kesejahteraan umat dengan berdirinya Daulah Islamiyyah. Tidak mungkin Daulah Islamiyyah akan terwujud jika umat Islam ini tidak mau belajar dan memahami agamanya dengan benar. Jika umat ini sudah sibuk dengan berbagai macam aktivitas dan kegiatan politik yang penuh ambisi untuk meraih dunia, atau tindakan-tindakan demonstrasi yang penuh dengan kejahilan dan berbagai macam kepentingan, atau orasi-orasi dusta yang penuh provokasi, maka dengan itu umat ini akan lalai dan berpaling dari aktivitas menuntut ilmu dien. Jika umat ini telah lalai dari menuntut ilmu dien, maka akan menjadi umat yang jahil (bodoh).

Kemudian kejahilan itu mengantarkan mereka untuk hubbud dunya (cinta dunia) dan berambisi untuk mendapatkannya. Dampak berikutnya mereka takut untuk mati sehingga menyebabkan mereka enggan berjuang dan berjihad membela agama Allah.[2]
Ini semua merupakan sumber kegagalan dan kehancuran umat ini. Hal ini sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dalam hadits Ibnu ‘Umar radiyallahu ‘anhu yang telah lalu. Dan juga sabdanya:

“Hampir-hampir umat-umat (di luar kalian) mengerumuni kalian sebagaimana orang-orang makan mengerumuni piring hidangannya.” Ada yang bertanya kepada beliau: “Apakah disebabkan karena jumlah kita sedikit pada saat itu?” Rasulullah menjawab: “Bahkan kalian pada hari itu jumlahnya banyak, akan tetapi kalian hanyalah seperti buih yang dibawa air bah (banjir) dan sungguh Allah akan mencabut dari dada musuh-musuh kalian rasa segan (takut) terhadap kalian. Dan Allah akan melemparkan pada hati kalian Al-Wahn.” Seseorang bertanya lagi: “Wahai Rasulullah, apakah Al-Wahn itu?” Beliau menjawab: “Cinta dunia dan takut mati.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud; dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di Ash-Shahihah no. 958)

Wallahu a’lam bish-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar