Selasa, 03 Agustus 2010

Tidak Ada Demokrasi dalam Islam

Banyak orang apalagi masyarakat awam, beranggapan bahwa
agama islam adalah agama demokrasi. Dan Islam mengajarkan
kepada umatnya agar bermasyarakat dan bernegara dengan
asas demokrasi Islam, dengan alasan Islam mengajarkan
syura/permusyawaratan.

Anggapan ini adalah anggapan yang amat salah dan tidak
berdasar, sebab antara kedua istilah ini terdapat perbedaan
yang amat mendasar, yang menjadikan keduanya bak timur dan
barat, air dan api, langit dan bumi. Berikut saya sebutkan
beberapa prinsip utama syura, yang merupakan pembeda dari
demokrasi. Semoga dengan mengetahui beberapa perbedaan
antara keduanya ini, kita dapat meluruskan kesalah pahaman
yang telah mendarah daging di tubuh banyak dan sanubari
banyak umat islam.

Prinsip Syura Pertama: Musyawarah hanyalah
disyariatkan dalam permasalahan yang tidak ada dalilnya.

Sebagaimana telah jelas bagi setiap muslim bahwa tujuan
musyawarah ialah untuk mencapai kebenaran, bukan hanya
sekedar untuk membuktikan banyak atau sedikitnya pendukung
suatu pendapat atau gagasan. Hal ini berdasarkan firman Allah
Ta’ala:

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula)
bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya
telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah
tersesat, sesat yang nyata.” (QS. Al Ahzab: 36)

“Diriwayatkan dari Maimun bin Mahran, ia mengisahkan: Dahulu
Abu Bakar (As Shiddiq) bila datang kepadanya suatu
permasalahan (persengketaan), maka pertama yang ia lakukan
ialah membaca Al Qur’an, bila ia mendapatkan padanya ayat
yang dapat ia gunakan untuk menghakimi mereka, maka ia
akan memutuskan berdasarkan ayat itu. Bila ia tidak
mendapatkannya di Al Qur’an, akan tetapi ia mengetahui sunnah
(hadits) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, maka ia akan
memutuskannya berdasarkan hadits tersebut. Bila ia tidak
mengetahui sunnah, maka ia akan menanyakannya kepada
kaum muslimin, dan berkata kepada mereka: ‘Sesungguhnya
telah datang kepadaku permasalahan demikian dan demikian,
apakah kalian mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa Salam pernah memutuskan dalam permasalahan itu dengan
suatu keputusan’? Kadang kala ada beberapa sahabat yang
semuanya menyebutkan suatu keputusan (sunnah) dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, sehingga Abu bakar
berkata: ’Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan diantara
kita orang-orang yang menghafal sunnah-sunnah Nabi kita
Shallallahu ‘alaihi wa Salam.’ Akan tetapi bila ia tidak
mendapatkan satu sunnah-pun dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa Salam, maka ia mengumpulkan para pemuka dan orangorang
yang berilmu dari masyarakat, lalu ia bermusyawarah
dengan mereka. Bila mereka menyepakati suatu pendapat,
maka ia akan memutuskan dengannya. Dan demikian pula yang
dilakukan oleh khalifah Umar bin Khatthab sepeninggal beliau.”
(Riwayat Ad Darimi dan Al Baihaqi, dan Al Hafiz Ibnu Hajar
menyatakan bahwa sanadnya adalah shahih)

Dari kisah ini nyatalah bagi kita bahwa musyawarah hanyalah
disyari’atkan dalam permasalahan-permasalahan yang tidak ada
satupun dalil tentangnya, baik dari Al Qur’an atau As Sunnah.
Adapun bila permasalahan tersebut telah diputuskan dalam Al
Qur’an atau hadits shahih, maka tidak ada alasan untuk
bermusyawarah, karena kebenaran telah jelas dan nyata, yaitu
hukum yang dikandung dalam ayat atau hadits tersebut.
Adapun sistim demokrasi senantiasa membenarkan pembahasan
bahkan penetapan undang-undang yang nyata-nyata
menentang dalil, sebagaimana yang diketahui oleh setiap orang,
bahkan sampaipun masalah pornografi, rumah perjudian,
komplek prostitusi, pemilihan orang non muslim sebagai
pemimpin dll.

Prinsip Syura Kedua: Kebenaran tidak di ukur dengan
jumlah yang menyuarakannya.

Oleh karena itu walaupun suatu pendapat didukung oleh
kebanyakan anggota musyawarah, akan tetapi bila terbukti
bahwa mereka menyelisihi dalil, maka pendapat mereka tidak
boleh diamalkan. Dan walaupun suatu pendapat hanya didukung
atau disampaikan oleh satu orang, akan tetapi terbukti bahwa
pendapat itu selaras dengan dalil, maka pendapat itulah yang
harus di amalkan.

“Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia mengisahkan:
Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam meninggal dunia,
dan Abu Bakar ditunjuk sebagai khalifah, kemudian sebagian
orang kabilah arab kufur (murtad dari Islam), Umar bin Khattab
berkata kepada Abu Bakar: ‘Bagaimana engkau memerangi
mereka, padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam telah
bersabda: “Aku diperintahkan untuk memerangi seluruh
manusia hingga mereka mengikrarkan la ilaha illallahu, maka
barang siapa yang telah mengikrarkan: la ilaha illallah, berarti ia
telah terlindung dariku harta dan jiwanya, kecuali dengan hakhaknya
(hak-hak yang berkenaan dengan harta dan jiwa),
sedangkan pertanggung jawaban atas amalannya terserah
kepada Allah.”’ Abu Bakar-pun menjawab: ‘Sungguh demi Allah
aku akan perangi siapa saja yang membedakan antara shalat
dan zakat, karena zakat adalah termasuk hak yang berkenaan
dengan harta. Sungguh demi Allah seandainya mereka enggan
membayarkan kepadaku seekor anak kambing yang dahulu
mereka biasa menunaikannya kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam, niscaya akan aku perangi karenanya.’ Maka
selang beberapa saat Umar bin Khatthab berkata: ‘Sungguh
demi Allah tidak berapa lama akhirnya aku sadar bahwa Allah
Azza wa Jalla telah melapangkan dada Abu Bakar untuk
memerangi mereka, sehingga akupun tahu bahwa itulah
pendapat yang benar.’” (Muttafaqun ‘alaih)

Begitu juga halnya yang terjadi ketika Abu Bakar radhiyallahu
‘anhu tetap mempertahankan pengiriman pasukan di bawah
kepemimpinan Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu yang
sebelumnya telah direncanakan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Salam sebelum beliau wafat. Kebanyakan shahabat
merasa keberatan dengan keputusan Abu Bakar ini, melihat
kebanyakan kabilah Arab telah murtad dari Islam.

Abu Bakar berkata kepada seluruh sahabat yang menentang
keputusan beliau:

“Sungguh demi Allah, aku tidak akan membatalkan keputusan
yang telah diputuskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Salam, walaupun burung menyambar kita, binatang buas
mengepung kota Madinah, dan walaupun anjing-anjing telah
menggigiti kaki-kaki Ummahat Al Muslimin (istri-istri
NabiShallallahu ‘alaihi wa Salam), aku tetap akan meneruskan
pengiriman pasukan di bawah kepemimpinan Usamah, dan aku
akan perintahkan sebagian pasukan untuk berjaga-jaga di
sekitar kota Madinah.” [Sebagaimana dikisahkan dalam kitabkitab
sirah dan tarikh Islam, misalnya dalam kitab Al Bidayah
wa An Nihayah, oleh Ibnu Katsir 6/308].

Imam As Syafi’i berkata: “Sesungguhnya seorang hakim
diperintahkan untuk bermusyawarah karena orang-orang yang
ia ajak bermusyawarah mungkin saja mengingatkannya suatu
dalil yang terlupakan olehnya, atau yang tidak ia ketahui, bukan
untuk bertaqlid kepada mereka dalam segala yang mereka
katakan. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidak pernah
mengizinkan untuk bertaqlid kepada seseorang selain (taklid kepada) Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa Salam.” [Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Al
Asqalani, 13/342]

Penjelasan Imam As Syafi’i ini merupakan penerapan nyata dari
firman Allah Ta’ala:

“Dan apa yang kalian perselisihkan tentang sesuatu maka
hukumnya kepada Allah.” (QS. Asy-Syura: 10)

Ayat-ayat yang mulia ini dan kandungannya, semuanya
menunjukkan akan kewajiban mengembalikan hal yang
diperselisihkan diantara manusia kepada Allah ‘Azza wa Jalla,
dan kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Salam, yang
demikian itu dengan mengembalikan kepada hukum Allah ‘Azza
wa Jalla, serta menjauhi setiap hal yang menyelisihinya.
Dengan memahami prinsip ini kita dapat membedakan antara
musyawarah yang diajarkan dalam Islam dengan demokrasi,
sebab demokrasi akan senantiasa mengikuti suara terbanyak,
walaupun menyelisihi dalil. Adapun dalam musyawarah,
kebenaran senantiasa didahulukan, walau yang
menyuarakannya hanya satu orang. Dengan demikian jelaslah
bagi kita bahwa Islam tidak pernah mengajarkan demokrasi,
dan Islam bukan agama demokrasi.

Prinsip Syura Ketiga: Yang berhak menjadi anggota Majlis Syura’ ialah para pemuka masyarakat, ulama’ dan pakar di setiap bidang keilmuan.

Karena musyawarah bertujuan mencari kebenaran, maka yang
berhak untuk menjadi anggota majlis syura ialah orang-orang
yang berkompeten dalam bidangnya masing-masing, dan
mereka ditunjuk oleh khalifah. Merekalah yang memahami
setiap permasalahan beserta solusinya dalam bidangnya
masing-masing.

Beda halnya dengan demokrasi, anggotanya dipilih oleh rakyat,
merekalah yang mencalonkan para perwakilan mereka. Setiap
anggota masyarakat, siapapun dia –tidak ada bedanya antara
peminum khamer, pezina, dukun, perampok, orang kafir dengan
orang muslim yang bertaqwa-, orang waras dan orang gendeng
atau bahkan gurunya orang gendeng memiliki hak yang sama
untuk dicalonkan dan mencalonkan. Oleh karena itu tidak heran
bila di negara demokrasi, para pelacur, pemabuk, waria dan
yang serupa menjadi anggota parlemen, atau berdemonstrasi
menuntut kebebasan dalam menjalankan praktek
kemaksiatannya.

Bila ada yang berkata: Ini kan hanya sebatas istilah, dan yang
dimaksud oleh ulama’ atau tokoh masyarakat dari ucapan
demokrasi islam ialah sistem syura’, bukan sitem demokrasi ala
orang-orang kafir, sehingga ini hanya sebatas penamaan.
Jawaban dari sanggahan ini ialah:

Pertama: Istilah ini adalah istilah yang muhdats (hasil rekayasa
manusia) maka tidak layak dan tidak dibenarkan menggunakan
istilah-istilah yang semacam ini dalam agama Islam yang telah
sempurna dan telah memiliki istilah tersendiri yang bagus serta
selamat dari makna yang batil.

Kedua: Penggunaan istilah ini merupakan praktek menyerupai
(tasyabbuh) dengan orang-orang kafir, dan Islam telah
mengharamkan atas umatnya perbuatan nmenyerupai orangorang
kafir dalam hal-hal yang merupakan ciri khas mereka.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda:

“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia tergolong
dari mereka.” (Abu Dawud dll)

Dalam sistem demokrasi yang meyakini, bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan, maka rakyat akan memilih pemimpin sesuai dengan seleranya. Jika rakyat suka berjudi, maka mereka akan memilih pemimpin yang mendukung hobi mereka. Jika rakyat suka dangdut, maka ia akan memilih partai yang mendukung dangdut. Jika rakyat hobi pengajian, maka mereka akan memilih partai yang menggalakkan pengajian. Karena ingin meraih suara rakyat itulah, ada partai yang mempunyai program seperti “tong sampah”. Apa saja diadakan, yang penting dapat dukungan.

Wahai kaum Muslim,
Slogan demokratisasi ternyata mengandung muatan kepentingan negara besar pengemban ideologi kufur sekulerisme kapitalisme. Banyak sekali slogan dan wajah manis yang disajikan di hadapan kita. Sekilas nampak baik, tapi sebenarnya hanyalah tipuan belaka. Karenanya, waspadalah dalam mensikapi berbagai slogan dan propaganda serta aktivitas kaum imperialis di dunia Islam. Allah SWT mengingatkan kita dalam firman-Nya:

Telah nampak kebencian dari mulut-mulut mereka, dan apa yang disembunyikan dada mereka lebih besar (TQS. Ali Imran[3]:118).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar